KITAB MINHAJUL ‘ABIDIN
RESUME
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Tasawwuf
Dosen Pengampu : Drs.
Zumrodi, M. Ag
Disusun oleh :
Abdur Rahman : 312036
Irchamni :
312037
Moh. Pujihono : 312038
M. Ulil Aidi : 312039

SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR
HADIST
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
RESUME
KITAB MINHAJUL ‘ABIDIN
A.
BIOGRAFI PENULIS
KH.Ihsan Muhammad
yang masyhur dengan nama Syekh Ihsan Jampes satu satunya Ulama yang mengarang
dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al
ikhwan Fi bayani Al Hukmu Al Qohwa Wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok
dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.
Ulama asal Kediri
yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang
saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin”
, Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau
sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syekh Zaini Dahlan padahal harusnya
adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes Kediri. Saya tidak habis
pikir Penerbit Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang
telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur
kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata
pengantar / Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang
dan di ganti dengan Biografi Syekh Zaini Dahlan (Ulama Timur Tengah).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah
atau penjabaran dari kitab Minhajul
Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan
pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para
mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga
dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika.
Siapa sebetulnya Syekh Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan
Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan
Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir
sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri Jawa Timur. Ayahnya bernama KH.Dahlan
. Kegeramaran Syekh Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani
kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain
judi. Bakri julukan Syekh Ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah
beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk
tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja
gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri KH.Dahlan mengajaknya
berziarah ke makam seorang ulama bernama KH. Yahuda yang juga masih ada
hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Allah agar
putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada Allah kalau saja putranya masih
saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi
umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syekh Ihsan bermimpi di datangi oleh
seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap
di lemparkan ke kepala Syekh Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau
engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan
lemparkan Batu besar ini ke kepalamu” kata Kakek tersebut. ”Apa hubungannya
kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syekh
Ihsan. Tiba-tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala
Syekh Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syekh Ihsan terbangun dari
tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang
terjadi kepadaku….Ya Allah….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syekh Ihsan
menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari
para ulama ulama di Jawa seperti KH. Saleh Darat, KH.Hasyim Asy’ari dan
KH. Muhammad Kholil Madura.
Setelah
sekian lama melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932
Syekh Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk
mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri
khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama
nusantara dan internasional, Kitab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar
1932-33 sebagai syarah
atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan
tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari KH.Hasyim
Asy’ari Tebu Ireng Jombang . Model tasawwuf yang di bahas dalam kitab
tersebut menawarkan Konsep Tawwasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara
umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh
Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam
kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana
hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman
ini) . Konsep zuhud diartikan
sebagai tanpa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa
orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa
memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi
zuhud adalah tanpa
dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik
dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syekh Ihsan sendiri
adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran
dari Sirajut Thalibin adalah
soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh
Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut
Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji
bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam
dua juz.
Sebelumnya, pada
1930 Syekh Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul
Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH.
Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al Ikhwan Fi Bayani Al Hukmu Al Qohwa Wad
Dukhon” terinspirasi karena kegeramarannya Syekh Ihsan yang
suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syekh Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah
namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa
Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syekh Ihsan yang menjadi manuskrip
yang tersimpan di Perpustakaan Kairo selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul
Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh
Zainuddin Malibari (Lombok). Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh
Syekh Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz.
Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih
formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawwuf dan pada bab-bab tertentu
banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip
kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak
keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di Semarang.
Pada tanggal
15 September 1952 Syekh Ihsan Dahlan dipanggil oleh Allah SWT dengan
meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para
ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
B. ISI KITAB DAN PANDANGAN
PENULIS
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ اْلحَكِـيْمِ , اَلْجَوَادِ اْلكَرِيْمِ ,
اَلْعَزِيْزِ الرَّحِــيْمِ . الذى خلق الانسان فى احسن تقويم وفطر السماوات
بقدرته ودبرالامور بحكمته وما خلق الجن والانس الا لعبادته فالطريق اليه واضح
للقاصدين ز والد ليل عليه لائح للناظرين ولكن الله يضل من يشاء ويهد من يشاء وهو
اعلم بالمهتدين والصلاة والسلام على سيد المرسلين وعلى اله الابرارالطيبين الطا
هرين وسلم وعظم الىيوم الدين
Segala puji tetap bagi Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala. Yang penuh Hikmah, Pemurah, Mulia, Penyayang, Tuhan yang menjadikan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan yang menciptakan langit dengan
Kudrat-Nya, Mengatur segala urusan dengan Hikmat-Nya, dan tiada Ia menciptakan
jin dan manusia melainkan untuk ibadah kepada-Nya.
Menjadikan jalan yang jelas bagi siapa yang
bermaksud mendekat kepada-Nya, begitu pula jadi bukti yang menunjukkan arah
kepada-Nya bagi siapa yang berfikir, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menyesatkan siapa yang ditakdirkan-Nya sesat, dan Dia pula yang memberi hidayah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, karena Dia lebih tahu siapa saja yang layak
untuk memperoleh hidayahNya.
Semoga sholawat serta salam melimpah ruah
kepada penghulu segala Rosul beserta keluarganya yang baik-baik lagi suci.
Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan dan memuliakan mereka
hingga hari pembalasan.
Ketahuilah, saudara-saudaraku…… semoga Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala membahagiakan anda dan aku dengan keridhoan-Nya, bahwa ibadah
itu adalah buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari
hamba-hamba Allah yang kuat-kuat, barang berharga dari para aulia (kekasih
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala), jalan yang ditempuh oleh mereka yang
bertaqwa, bagian untuk mereka yang mulia. (Dan Ibadahpun) tujuan
dari orang-orang yang berhimmah (yang mempunyai tekad dan obsesi yang kuat),
syiar (slogan/motto) dari golongan yang terhormat, pekerjaan dari
orang-orang yang berani berkata jujur, pilihan dari mereka yang waspada,
dan jalan menuju surga.
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَ أَنَا رَ بُّكُمْ فَاعْبُدُونِ [الأنبياء/92]
“ ..dan Aku Tuhan kamu sekalian, beribadahlah kepada-Ku”. (QS Al
Anbiya (21) : 92)
Dalam firmanNya yang lain :
إِنَّ هَذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَ كَانَ
سَعْيُكُمْ مَشْكُورًا [الإنسان/22]
“ Sesungguhnya ini adalah ganjaran bagi kamu. Dan usahamu memang
disyukuri (diberi balasan)”. (QS Al Insaan (76) : 22)
hal ibadah telah cukup kami pikirkan, telah
pula kami teliti jalanya dari awal hingga tujuan akhirnya yang selalu diidam-idamkan
oleh para penempuhnya. Ternyata ibadah adalah suatu jalan yang amat sukar,
banyak tanjakan-tanjakan (pendakian-pendakiannya), sangat payah/sulit dan jauh
perjalanannya. Besar bahayanya, tidak sedikit pula halangan dan rintangannya.
Samar untuk mengetahu dimana tempat celaka dan akan binasanya, banyak lawan dan
penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.
Memang jalan ibadah itu seharusnya begitu,
sebab ibadah itu jalan menuju ke syurga, jadi semua ini sesuai dengan sabda
Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik.
صحيح مسلم - (ج 13 / ص 448/ح 5049) : حُفَّتْ
الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
"Syurga itu dikepung oleh segala macam kesukaran (dan hal-hal yang
tidak menyenangkan) dan neraka dikepung dengan segala hal-hal yang menyenangkan
(menarik)."(HR. MUSLIM - 5049)
Rosulullah
Shallallahu 'alaihi wa Salam melanjutkan dengan sabdanya:
اَلاَ وَ اِنَّا لْجَنَّةُ حَزْنٌ بِرَبْوَةٍ اَلاَ
وَ اِنَّ النَّارَ سَهْـلٌ بِشَهْـوَةٍ
“ Perhatikanlah! jalan kesyurga itu penuh rintangan dan mendaki
sedangkan jalan keneraka itu mudah dan rata.”
Semua itu ditambah dengan kenyataan bahwa
manusia itu lemah, sedangkan zaman sudah payah. Urusan agama mengalami
kemunduran. Kesempatan (mengaji dan mengkaji) kurang. Banyak tugas (yang
melalaikan urusan ibadah). Umur sangat pendek. Padahal penguji amal kita (Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala) amat teliti. Ajal semakin dekat. Perjalanan masih jauh.
Maka ketaatan adalah satu-satunya yang menjadi bekal, karena itu kita harus
taat, tidak bisa tidak….!..KARENANYA SEBUAH KEHARUSAN…!!!.
Namun waktu telah berlalu, tak dapat
dipanggil kembali,… pendek kata.. siapa yang taat, dialah yang beruntung,
bahagia selama-lamanya. Tetapi siapa yang tidak mau taat, maka rugi dan
celakalah dia.
Inilah permasalahannya….jalan yang kita
tempuh sulit dan bahayanya besar, karena itulah maka jarang sekali orang yang
memilih jalan ini, diantara yang telah memillihnyapun jarang sekali yang
benar-benar menempuhnya.
Diantara yang menempuhnya juga, jarang pula
yang sampai kepada tujuannya, dan berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Mereka
yang berhasil itulah orang-orang mulia pilihan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Untuk ma’rifat (mengenal Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenarnya
karena buah ketaatan) dan mahabbah (mencintai Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala, karena buah ilmu yang dipelajari dan amal yang dilaksanakan secara
istiqomah) kepada-Nya. Diberinya taufik dan pemeliharaan terhadap mereka,
dan disampaikannya dengan penuh karunia kepada keridhoan-Nya.
Marilah kita selalu memohon…. semoga Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala, memasukan kita kedalam golongan yang beruntung dengan memperoleh
rahmat-Nya.
Ternyata bisa kita lihat dan kita rasakan,
banyak kesulitan untuk menempuh jalan kearah ini, karena begitulah sifatnya dan
keadaannya, maka kamipun (Imam Al Ghazali-pent) berpikir dan merenungkan
bagai mana cara menempuhnya, alat dan perlengkapan apa yang diperlukan si
penempuhnya, dengan ilmu dan amal, semoga saja ia dapat menempuhnya
dengan bantuan taufik Ilahi, dan dalam keadan selamat, tidak terhenti dalam
tanjakan-tanjakannya (kesulitan dan perintangnya) sehingga patah disitu
dan masuk golongan yang celaka binasa, na’uzubillah.
Itulah sebabnya maka kami (Imam Al Ghazali-pent)
berusaha menyusun beberapa kitab tentang jalan kearah itu dan cara menempuhnya,
seperti antara lain kitab Ihya ‘Ulumiddin, Al Qurbah dsb, akan tetapi,
kitab-kitab tersebut banyak mengandung soal-soal yang halus, dan mendalam
sekali, sukar untuk dimengerti oleh kebanyakan orang, sehingga akhirnya mereka
benci dan mencela, mengecam apa saja yang mereka belum paham dari maksud dan
makna dalam kitab-kitab tersebut.
Namun kita tidak usah heran, karena tak ada
kitab yang lebih mulia dan lebih baik dari pada Al Qur’an, tetapi kitab suci
yang diturunkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala tersebut masih saja dicela
oleh orang-orang yang tidak mau menerima, mereka katakan isinya hanyalah
dongengan-dongengan kuno belaka.
Zainal Abidin, Ali bin Ali bin Abu Tholib r.
a pernah berkata:
“diantara ilmu-ilmuku, jauhar (intisari/esensi) mutu manikamnya ada
yang harus kusembuyikan (jika tanpa penerangan dan pengarahan), agar tiada
terlihat orang yang tidak mampu (menangkapnya dan memahaminya), karena akhirnya
ia akan tersesat (dengan penafsiran yang salah tanpa bertanya serta berguru kepada
yang memahaminya). Hal ini memang telah dipesankan oleh Abu Hasan (Ali bin Abi
Thalib) kepada Husain dan Hasan. Karena terkadang ada jauhar ilmu, jika
dibukakan/disingkapkan tabirnya pasti ada orang yang akan menuduh aku musyrik,
dan menghalalkan jiwaku untuk dibunuh, karena mereka mengira perbuatan keji itu
adalah suatu amalan yang baik.”
Keadaan seperti itu menuntut para ulama, agar
kita memandang mereka dengan rasa belas kasihan, penuh rasa kasih sayang dan
tidak berbantah-bantahan. Karena itu, aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, supaya diberikan oleh-Nya taufik (sesuatu
yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
mendorong seseorang itu untuk melakukan kebaikan secara istiqomah karena sudah
menjadi sifat yang ada pada dirinya) agar dapat menyusun
sebuah kitab yang cocok bagi mereka.
Permohonanku itu diluluskan-Nya, diilhami-Nya
sehingga dapat mengarang sebuah kitab dengan suatu susunan yang indah, belum
pernah kudapat dalam karangan-karanganku sebelumnya, kitab baru itu kunamakan
kitab Minhajul A’bidin yang kusajikan sekarang ini.
Adapun hamba Alloh itu, apabila mulai bangun
dan ingat untuk beribadah, ia bertajarrud (totalitas
memberikan ruang seluas-luasnya untuk berkiprah)
dengan membulatkan hati menempuh jalan ibadah, mula-mula karena ada suatu
lintasan dihatinya yang suci. Dan itu adalah pemberian dari Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala. Dengan taufik yang khusus diberikan oleh-Nya, dan inilah
yang dimaksud firman Allah :
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلإِْسْلاَمِ
فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ [الزمر/22]
“apakah orang yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima
Islam, lalu ia dikarunia Allah dengan suatu nur / cahaya kebenaran (apakah dia
itu sama dengan orang-orang yang telah membatu hatinya?) (QS
Az-Zumar (39) : 22)
Dan telah diisyaratkan pula hal tadi oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam.
Beliau bersabda :
Beliau bersabda :
اِنَّ النُّورَ اِذَا دَخَلَ اْلقَـلْبَ انْفَسَحَ وَ
انْشَرَحَ
“ Sesungguhnya Nur (cahaya kebenaran dan petunjuk) itu apabila sudah
masuk dihati manusia, menjadi lapang dan menjadi legalah hatinya.”
Disini ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Salam:
يَا رَسُولَ االلهِ , هَلْ لِذَلِكَ مَنْ عَلاَ مَةِ
يُعْرَ فُ بِهَا
“ Ya Rasulullah ! , apakah hal yang seperti itu tanda-tandanya bisa kita
ketahui?”
Jawab beliau:
قَالَ :
اَلتَّجَافِى عَنْ دَارَ اْلغُرُوْرِ وَ اْلاِنَابَةِ اِلَى دَارُ الْخُـلُـوْدِ
وَ اْلاِسْتِـعْـدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْـلَ نُزُولِ اْلمَوْتِ
“ Bisa diketahui tanda-tandanya, yaitu menjauhkan diri (tidak hanyut
oleh indahnya) negri kepalsuan (dunia) dan kembali ke negri kelanggengan
(memprioritaskan amalan yang abadi untuk negeri akhirat) serta bersiap untuk
mati sebelum mati.”
Apabila hal ini terlintas di hati seseorang
maka mula-mula ia akan berkata (kepada dirinya) :
“Oh ! aku sadar sekarang…… ternyata diriku
ini dikaruniai dengan bermacam-macam kenikmatan oleh Allah, seperti nikmat
hidup, nikmat mempunyai sifat kudrat (kekuasan/kemampuan untuk
bisa berbuat apap-apa), bisa berfikir, bisa bicara, dan hal yang mulia
lainnya, aku telah memperoleh kenikmatan, kesenangan, selamat dari
bermacam-maccam ujian dan musibah, banyak musibah yang dihindarkanNya dariku
dan aku tahu semua ini ada pemberinya yang menuntut supaya aku bersyukur
kepada-Nya, dan berkhidmat (berbakti/mengabdi) kepadaNya, dan apabila
aku lalai, lupa, tidak bersyukur dan tidak berkhidmat, pasti Dia akan
menghilangkan nikmat-Nya dan aku diberi hukuman dan balasan”.
“Dan Dia sudah mengutus kepadaku seorang Rosul terakhir (namanya :
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Salam) Dia mendukung rosul itu dan
menguatkannya dengan mu’jizat yang luar biasa, diluar kemampuan manusia. Rosul
itu memberitakan kepadaku bahwa aku hanya mempunyai satu Tuhan yang Maha Mulia,
Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Berbicara, Maha
Menyuruh, Maha Melarang dan Maha Kuasa Menghukum apabila aku durhaka kepada-Nya
dan Dia akan mamberi ganjaran apabila aku taat kepada-Nya, Dia tahu segala
rahasiaku, dan tahu apa saja yang terlintas dipikiranku, dan Dia sudah
menjanjikan sesuatu, dan Dia telah memerintahkan agar aku taat pada hukum-hukum
syari’at”.
Apabila seseorang sudah berkata begitu
dihatinya, diapun sadar bahwa ini bisa saja terjadi. Ia dengar berita-berita
dari Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam (melalui ulama-ulama yang
menyampaikan kepadanya) Ia berkata dihatinya : “ini mungkin, tidak mustahil,
tidak ada kemustahilan bagi yang demikian itu dalam akal, sepintas lalu saja
sudah bisa dimengerti“. Disini dia kuatir dan takut tentang nasib dirinya.
Ini namanya lintasan hati pembawa takut yang membuat seseorang terjaga dan
mengikatkan hujjah kepadanya.
Untuk memutuskan diri darinya, tidak ada
alasan lain. apalagi untuk menunda-nunda, sehingga mendorong orang tersebut
untuk berfikir keras mencari dalil dan bukti. Bergeraklah ia ketika itu. Tidak
lagi dengan diam dan bimbang. Tetapi berusaha dan mencari jalan keselamatan,
dan supaya merasa aman dari apa yang sudah masuk menyelinap dihatinya. Atau
dari apa yang sudah didengar oleh telinganya sendiri?.
Tidak ada jalan lain lagi dihadapannya selain
dengan otaknya yang sehat, memikirkan dan mencari bukti. Mula-mula terhadap
adanya buatan yang menunjukan adanya si pembuat, adanya alam semesta, ini juga
buatan, yang menunjukan adanya si pembuat, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini dilakukan supaya muncul untuknya ilmu yang meyakinkan dan tidak syak
wasyangka lagi akan hal-hal yang ghaib. Benar, Allah itu tidak dapat dilihat,
tetapi bukti akan perbuatannya, yaitu alam semesta yang indah dan unik, yang
menandakan adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang yang ingin memperolah Nur Ilahi, dia
yakin bahwa memang dia mempunyai Tuhan yang memerintah dan melarangnya. Inilah
tanjakan yang pertama, pendakian yang pertama, yang dihadapinya dalam
perjalanan ibadah. Yaitu TANJAKAN ILMU & MA’RIFAT.
Untuk diketahui dan diingat, ibadah tanpa
ilmu dan ma’rifat tidak ada artinya. Supaya dalam urusan ini difahami
dengan benar, apa yang dilakukannya, kemudian dia menempuh tanjakan ini, tidak
dapat tidak, harus menempuhnya, kalau tidak, dia akan celaka, mau tidak mau
harus menempuh tanjakan ini, artinya ia harus belajar (mengaji), supaya bisa
beribadah, menempuh jalan ini dengan sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan
merenungkan sepenuhnya.
Dengan belajar (mengaji), maka dia bertanya
kepada guru, bertanya kepada para ulama tentang akhirat, bertanya kepada para
petunjuk jalan yang mengarah kepada keselamatan akhirat, dia selalu bergaul
dengan dian-dian (lampu-lampu) pembina umat. Dia senantiasa berguru dan
bertanya kepada para imam, dan mintalah faedah dan doa dari beliau-beliau itu.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan taufik-Nya.
Dengan minta bantuan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, dia akan menempuh tanjakan ini dengan taufik dari Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Setelah dia cukup mengaji, maka dia akan berhasil memperoleh
ilmu yang menambah keyakinannya. Mengetahui tentang hal-hal yang ghoib, maka
dia makin yakin dengan adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, adanya
Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam, adanya syurga, adanya neraka,
adanya hisab, adanya nusyur, adanya wuquf fil mahsyar,
dll. Ia tambah yakin bahwa tiada Tuhan Selain Allah Dan tidak Boleh Ada Sekutu
BagiNya, Dia yang menciptakan dirinya, dan sekarang ia bertambah tahu dengan
ilmu yang diperolehnya bahwa Tuhan itu menyuruh bersyukur, menyuruh khidmat dan
taat lahir batin padaNya.
Dan Tuhan pun menyuruh dia supaya
berhati-hati, jangan sampai kufur, jangan melakukan bermacam-macam maksiat, dan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah menetapkan akan adanya ganjaran yang
kekal kalau ia taat kepada-Nya, dan akan ada pula hukuman yang kekal kalau ia
durhaka dan berpaling dari pada-Nya.
Pada saat ini, ia terdorong oleh pengetahuan
yang dimilikinya dan oleh keyakinannya akan hal yang ghaib tadi, ia pun
menyingsingkan lengan baju untuk berkhidmat, dan melakukan ibadah dengan
sepenuh hatinya. Yaitu memperhambakan diri kepada yang memberi nikmat ini,
yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang ia cari-cari selama ini, sekarang
sudah ia ketemukan.
Tetapi dia belum tahu bagai mana caranya
beribadah?. Kini dia telah mengenal Tuhan, kemudian bagaimanakah cara beribadah
kepadanya?. Apa yang diperlukan untuk berkhidmat kepada-Nya dengan lahir dan
batin itu?.
Sesudah tamat ilmu tauhid
sehingga ia tahu dan ma’rifat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka
ia belajar ilmu Fikih Ibadah, bagaimana berwudhu, shalat, dsb. Baik yang
fardhu maupun sunah beserta dengan syarat lahir bathinnya. Sesudah ia
mendapatkan ilmu tentang yang fardhu, dengan segala persyaratan dan rukunnya,
maka sekarang ia bangkit untuk benar-benar mulai melaksanakan ibadah dengan
baik dan benar, dan mengerjakannya penuh semangat.
Akan tetapi, kemudian ia berfikir dan
melihat, dan tiba-tiba ia insyaf bahwa ia banyak dosa, banyak kesalahan dan
maksiat.
“Wah ! aku ini orang yang berdosa dalam
kehidupanku yang sudah lalu”.
Memang manusia itu dengan pengetahuan yang
datang karena digali, membuatnya menjadi insyaf dan mau beribadah, kemudian ia
terus berfikir :
“Bagaimana aku beribadah, sedangkan aku masih
melakukan dosa?. Bagaimana aku beribadah sambil melakukan kedurhakaa?. Betapa berat
aku ini berlumura dengan kedurhakaan. Aku harus bertaubat dulu, membersihkan
diri dari kemaksiatan, dan penuh penyesalan agar diampuni dosa-dosaku oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan membebaskanku dari belenggu dosa-dosa itu ,
supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membersihkan diriku dari kotoran-kotoran
dosa, setelah itu baru aku akan melaksanakan penghambaan yang terbaik dan
berusaha selalu dekat dan bersujud sepenuh jiwa dan raga untuk menggapai
keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala” .
Disini ia berhadapan dengan TANJAKAN
TAUBAT, dia susah payah juga untuk menempuhnya,… tidak bisa tidak…., ia
harus menempuh tanjakan taubat ini, agar ia sampai kepada tujuan yang
dimaksudkan, serta faham makna dan hakekat ibadahnya. Dia mulai melakukan
taubat, dan dalam melakukan taubat ini, harus menurut syarat-syaratnya, sampai
akhirnya ia dapat menempuhnya.
Setelah dia berhasil taubat secara benar, dan
selesai pada tanjakan ini, maka ia merasa rindu untuk melakukan ibadah, untuk
memulai ibadah dengan baik dan benar. Tetapi kemudian ia berfikir lagi,
merenungkan lagi, dan tiba-tiba ada halangan-halangan (penghalang-penghalang)
disekitarnya yang mengepung dirinya. Menghalangi kebersihan dan kesucian
beribadah. Ia melihat, merenungkan, dan mengklarifikasi macam-macam faktor penghalang
itu?, Akhirnya dapat disimpulkan halangan-halangan itu ada empat macam:
1. Faktor Penghalang Dunia
2. Faktor Penghalang Mahluk
3.
Faktor Penghalang Syaitan
4.
Faktor Penghalang Nafsu
Ia harus berusaha sekuat daya upayanya
menolak halangan-halangan itu dan menjauhkannya, menyingkirkannya, kalau tidak
demikian tidak akan tercapai tujuan ibadahnya itu. Disini ia dihadapkan pada
tanjakan baru namanya TANJAKAN PENGHALANG. Ia harus menempuh tanjakan
ini dengan empat jalan pemecahan, yaitu :
1.
Tajarud ‘anid dunya (membulatkan
hati, sampai tidak bisa ditipu oleh dunia).
2.
Memelihara diri supaya
tidak bisa disesatkan oleh mahluk (sebab kebanyakan mahluk suka menyesatkan).
3.
Menyatakan perang terhadap
syaitan (sebab kalau tidak diperangi, syaitan akan terus saja menghalangi).
4.
Menaklukan hawa nafsu kita
sendiri.
Menaklukan nafsu inilah yang paling susah,
sebab nafsu tidak bisa dikikis sampai habis sama sekali. Sebab nafsu itu ada
gunanya, hanya saja nafsu jangan sampai bisa mengalahkan kita. Jika seseorang
tidak bisa menundukan nafsunya sama sekali, maka akan sangat berbahaya. Dan
jangan menekan nafsu itu sampai mati,…. inilah yang paling susah…, dihilangkan
atau dimatikan nafsu itu jangan…., kitapun jangan sampai dikuasai nafsu.
Dikikis sampai habis..sama sekali tidak bisa, kalau orang mengikis habis
nafsunya sama sekali, celakalah dia…., maka dia bukan manusia. Karena nafsu
yang terkendali sewajarnya membuat manusia tumbuh dan berkembang.
Kalau syaitan ternyata bisa dikalahkan dan
ditaklukan, bahkan syaitan yang menggoda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa
Salam mutlak kalah. Kita juga harus mampu mengalahkan syaitan itu, tetapi
hawa nafsu pada diri kita tidak harus ditumpas sama sekali. Sebab, nafsu pada
diri kita adalah kendaraan kita (alat kita), namun tidak akan ada harapan bahwa
nafsu pada diri kita akan mendorong kita kearah kebaikan, kalau dibiarkan…..,
nafsu akan mendorong, hanya kepada kejahatan saja.
Akan tetapi untuk menyiasati nafsu pada diri
kita sendiri adalah hal yang paling susah,…. jangan berharap bahwa nafsu akan mufakat
dengan kita, untuk beribadah dan menghadap Allah dengan ikhlas, sebab nafsu itu
memang tabiatnya tidak baik, hanya ingin berbuat apa-apa yang melupakan kita
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ingin dimanjakan dan dituruti
kemauannya.
Menurutkan nafsu semata akan membuat kita
lupa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kalau begitu perlulah hamba Allah
yang mengendalikan nafsunya, degan alat kendali yang namanya TAQWA, supaya
nafsu itu tetap hidup baginya, tidak mati, tapi tunduk, yaitu dengan kendali, seperti
mengendalikan kuda binal.
Jadi seseorang itu bisa menggunakan nafsunya
untuk kebaikan, kemaslahatan dan untuk kebenaran, dikendalikan jangan sampai
jatuh ketempat-tempat celaka, tempat-tempat yang merusak.
Kalau begitu ia sekarang mulai menempuh tanjakan
ini dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, supaya dapat
menempuh tanjakan yang terjal ini. Setelah ia menempuh tanjakan atau penghalang
ini, ia kembali akan melaksanakan ibadah, tetapi tiba-tiba kelihatan lagi ada
rintangan-rintangan yang lain.
Kalau tadi ada penghalang yang tetap. Maka
sekarang ia menghadapi rintangan-rintangan yang terkadang datang dan terkadang
menghilang, hal ini akan membingungkan hatinya untuk sepenuhnya menuju
tujuannya, yaitu beribadah sebagaimana mestinya.
Ia merenungkan macam apakah halangan-halangan
itu? Setelah lama merenungkannya, maka ia tahu ada empat rintangan ialah :
1.
Rintangan berupa Rizki.
Dia akan bertanya pada dirinya sendiri : “Bagaimana
makananku?. Pakaianku?. Mana bagian untuk anak-anakku?. Mana bagian untuk
keluargaku? Mana?”.
Inilah rintangannya. Dan dirinya menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut :
“Harus ada bekal bagiku!. Harus ada apa-apa yang menguatkan diriku!. Aku harus tajarud ‘aniddun’ya, sekarang aku sudah membulatkan hatiku ,sudah tidak dapat dibuai lagi oleh keserakahan dan kekhawatiran masalah-masalah dunia, dengan mengkhawatirakan rizki yang telah dijatahkan untukku dengan berikhtiar?. Aku sudah menjaga diri supaya jangan ditipu oleh mahluk-mahluk sekarang aku harus berhati-hati terhadap mahluk, kalau begitu bagaimana tenaga dan bekalku itu? Itu tagihan nafsunya (dirinya) sendiri.
“Harus ada bekal bagiku!. Harus ada apa-apa yang menguatkan diriku!. Aku harus tajarud ‘aniddun’ya, sekarang aku sudah membulatkan hatiku ,sudah tidak dapat dibuai lagi oleh keserakahan dan kekhawatiran masalah-masalah dunia, dengan mengkhawatirakan rizki yang telah dijatahkan untukku dengan berikhtiar?. Aku sudah menjaga diri supaya jangan ditipu oleh mahluk-mahluk sekarang aku harus berhati-hati terhadap mahluk, kalau begitu bagaimana tenaga dan bekalku itu? Itu tagihan nafsunya (dirinya) sendiri.
2.
Rintangan berupa
macam-macam bahaya,
Inilah rintangan yang kedua. Macam-macam
bahaya yang ia takutkan, ia takut ini dan mengharapkan itu, takut-takut kalau
tidak jadi. Ia ingin anu, anu, anu, takut kalau-kalau tidak ada. Ia takut anu,
anu,anu, takut kalau–kalau ada.
Ia tidak tahu apa yang baik baginya dalam hal
ini, dan apa yang jelek baginya. Ia hanya meraba-raba saja, sebab akibat-akibat
dari segala sesuatu itu samar sifatnya, begitu pula dengan akibat-akibatnya?.
Hatinya bimbang, mungkin dia terjatuh pada kerusakan, kebinasaan atau jatuh
pada tempat yang mencelakakan.
3.
Rintangan berbagai macam
kesusahan dan kepayahan.
Inilah rintangan yang ketiga, dimana
musibah-musibah yang datang kepadanya bermacam-macam dari tiap segi (tiap sudut
kehidupan). Apalagi sekarang ia sudah berterkad untuk menjadi seorang yang lain
dari yang lain, tidak sama dengan mahluk yang lain, ia bertekad untuk menjadi
ahli ibadah, sedangkan orang lain tidak mau beribadah, atau beribadah
asal-asalan. Apalagi ia sudah bertekad pula untuk berperang melawan syaitan,
dan syaitan juga tidak akan tinggal diam, syaitan selalu istiqamah dan selalu
siap dan sigap untuk melawannya. Dan ia sudah bertekad untuk melawan nafsunya,
sedangkan nafsunya juga sudah siap untuk merobohkannya.
Berbagai kesusahan, kesulitan dan kepayahan
yang akan dihadapinya. Berbagai kebingungan, kecemasan, ketakutan dan kesedihan
yang melintang dijalannya, berbagai musibah akan datang menyambutnya, ini juga
harus dipikirkannya.
4.
Rintangan bermacam-macam
takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah rintangan keeempat atau yang terakhir.
Ada yang manis, ada yang pahit, sedangkan nafsu selalu cepat berkeluh kesah :
“wah…. bagaimana ini?, kenapa begitu?,…padahal saya sudah berusaha?......kok
seperti ini..?. Demikian cepatnya nafsu tergoda, sehingga berkata tanpa
dipikir.
Maka disini ia menghadapi tanjakan lagi TANJAKAN
RINTANGAN EMPAT atau TANJAKAN GODAAN.
ia harus menempuhnya dengan empat macam alat
:
1.
Tawakal kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Dalam hal rizki, harus tawakal dan menyerah
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
2.
Berserah diri.
Pasrah sepenuhnya kepada ketentuan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mengenai apa yang dikhawatirkannya. Contohnya ditempat berbahaya,
dimana kita sudah tak berdaya, serahkan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Seperti, kata seorang yang beriman yang diantar prajurit tentara
kerajaan firaun :”aku serahkan urusanku kepada Allah”, yaitu sewaktu ia
diancam akan dibunuh.
3.
Sabar
Kesabaran adalah sebuah sikap yang telah
menjadi sifat dalam menghadapi datangnya berbagai bencana dan musibah sebagai
ujian yang menimpa dirinya.
4.
Ridho
Dia menerima dengan penuh daya tahan dan
ketenangan saat takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghampirinya. Dia
akan berkata : “takdir ini saya terima dengan penuh ikhtiar dan perjuangan,
atau saya terima dengan rela takdir ini”.
Jadi ia mulai juga menempuh tanjakan ini
dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan dengan kebaikan bimbingan
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Setelah menempuh tanjakan
yang baru ini, yakni tanjakan rintangan yang keempat, kembali ia ingin
beribadah dengan benar, dan ia berfikir lagi. Tiba-tiba dirinya lesu, malas,
tidak giat dan tidak terdorong untuk berbuat kebaikan sebagaimana mestinya.
Nafsunya cenderung kepada
kelalaian dan bersenang-senang saja, banyak istirahat, nganggur dan maunya
tidak bekerja. Malah cenderung kepada kejahatan serta kepada hal-hal yang tidak
ada gunanya dan kearah bencana juga kebodohan. Pada saat seperti ini, ia perlu
pendamping yang membawanya kepada kebaikan, kepada ketaatan dan membuat ia giat
kembali untuk berbuat kebaikan, karena ada yang menegur nafsunya supaya jangan
berbuat jahat dan durhaka.
Penahanan atau penegur itu
ialah HARAPAN dan TAKUT . Harapan itu ialah harapan ganjaran yang besar
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini adalah pengiring yang dapat
membangkitkan kepada ketaatan, menggerakan dirinya untuk benar-benar giat
melaksanakan kebaikan-kebaikan. Adapun takut itu ialah takut kepada hukuman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pedih, yang diancamkan oleh Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Ancaman itu berupa penegur,
penolak dari segala maksiat, menjauhkannya dari perbuatan tersebut, mencegahnya
dari berbuat maksiat, inilah TANJAKAN PENDORONG yang menyambut dia
disini. Jadi ia perlu menempuh dengan dua alat HARAPAN dan TAKUT maka ia mulai
menempuh tajakan in dengan taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Akhirnya ia dapat menempuhnya dengan selamat.
Setelah ia menempuh
tanjakan pendorong ini ia kembali kepada ibadah. Disini ia sudah tidak melihat
lagi penghalang dan perintang, bahkan menemukan pendorong dan pengajak, karena
itu giatlah ia beribadah, dilakukan secara sebenar-benarnya, dengan penuh rindu
dan gemar melakukannya. Dan ia terus-menerus beribadah.
Tetapi kemudia ia melihat,
berfikir, dan tiba-tiba terlihat olehnya bahwa ibadah yang susah payah ia
lakukan, ada dua hama. Sewaktu-waktu ia berpura-pura dengan ketaatanya agar
dilihat oleh manusia, berarti riya, dan kadang-kadang ia tidak berbuat
demikian, bahkan mencerca dirinya sendiri supaya jangan riya, tetapi kemudia ia
terkena penyakit sombong (ujub), kesombongannya itu merusak ibadahnya,
merugikan dia, dan menghancurkannya.
Disini ia dihadapkan kepada
suatu tanjakan baru, namanya TANJAKAN PENCACAD, pembuat cacad. Jadi ia
terpaksa menempuhnya dengan IKHLAS dan DZKIRUL MINNAH, ikhlas
itu lawannya riya, dzikrul minah itu lawannya ujub.
Ikhlas
artinya memurnikan ibadah, dzikkrul minah ialah ingat akan jasa Tuhan,
jadi tidak sombong dan takabur. Ia mulai menempuh tanjakan ini dengan ijin dari
Allah, dengan dengan kesungguhan hati, dengan hati-hati dan waspada, dengan
peliharaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Serta bimbingannya. Ketika ia
sudah melalui tanjakan yang baru ini, berhasilah ia beribadah sebagaimana
mestinya, sebagaimana patutnya, sehat selamat dari ganngguan wabah. Akan tetapi
ia berpikir lagi, tiba-tiba ia melihat dirinya sedang tenggelam dalam lautan
kenikmatan dan jasa dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan kebaikan-kebaikan-Nya,
dari banyaknya yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadannya,
yaitu diberi taufiq dan pemeliharaan serta macam-macam penguat dan pendukung,
dihormati, dimuliakan, akirnya ia kuatir kalau ia lupa berterimakasih, sehingga
akibatnya, ia jatuh kedalam kekufuran, lupa bersyukur, sebab kalau jatuh
kejurang lupa , berarti dia jatuh dari martabat yang tinggi, yaitu martabat
khadam yang khusus untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hilang
daripadanya nikmat-nikmat yang mulia itu. Maka disini ia dihadapkan kepada
tanjakan baru dan terakhir, namanya: TANJAKAN PUJI dan SYUKUR.
Tetapi ia sadar untuk
menempuh tanjakan ini dengan sedapat mungkin, yaitu dengan memperbanyak pujian
dan syukur atas nikmat-nikmat daripada-Nya yang banyak itu.
Setelah ia menempuh tanjakan yang terakhir ini dan kemudian, ia turun kedataran, tiba-tiba ia bertemu dengan maksud dan keinginannya, yang berada di depannya, ia melangkah sedikit kedepan, tibalah ia kedataran karunia dan padang rindu serta halaman mahabbah. Kemudian ia masuk kedalam taman keridhoan, kebun-kebun kecintaan dan kehangatan hati, sampai dihamparan kegembiraan, dekat martabat, tempat munajat, beroleh pakaian kehormatan dan kemuliaan.
Setelah ia menempuh tanjakan yang terakhir ini dan kemudian, ia turun kedataran, tiba-tiba ia bertemu dengan maksud dan keinginannya, yang berada di depannya, ia melangkah sedikit kedepan, tibalah ia kedataran karunia dan padang rindu serta halaman mahabbah. Kemudian ia masuk kedalam taman keridhoan, kebun-kebun kecintaan dan kehangatan hati, sampai dihamparan kegembiraan, dekat martabat, tempat munajat, beroleh pakaian kehormatan dan kemuliaan.
Jadi ia merasa nikmat dalam
keadaan seperti ini, selama hidupnya dan sisa umurnya, badannya masih didunia,
tetapi hatinya sudah diakhirat. Ia menunggu dari hari ke hari pembawa surat,
sampai ia bosan terhadap mahluk, benci terhadap dunia, rindu ingin cepat
pulang. Rindunya penuh pada alamul a’la (masyarakat yang tertinggi).
Tiba-tiba datanglah utusan-utusan pembawa amanat dari Robul ‘Alamin kepadanya
datang dengan segala yang menyenangkan, dengan wewangian dan berita yang
menggembirakan, keridoan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dari Tuhan yang
ridho tidak murka, jadi mereka itu (para malaikat) memindahkan dia dalam
keadaan senang dan gembira penuh dengan kehangatan, dari negri yang fana, yang
menggoda, kehadirat keTuhanan dan tempat taman firdaus. Dirinya yang lemah dan
berfikir itu memperoleh kenikmatan yang kekal dan kerajaan yang besar.
Ia menemukan disana nikmat
karunia dari tuhannya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang Maha Rahim,
yang Maha Pemurah. Yaitu kelemah lembutan, kesayangan dan sambutan, pemberian
nikmat, pemberian kemuliaan, dan apa yang tak terkatakan lagi, tidak pernah
dilihat, tidak bisa digambarkan, tiap hari terus bertambah sampai
selama-lamanya. Besar nian kebahagiaan ini, tinggi nian kerajaan ini, bahagia
nian hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini, manusia yang mahmud (terpuji)
ini, baik sekali tempat kembalinya.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang Maha Baik, yang Maha Rahim, agar dia memberikan aku dan kamu
sekalian kenikmatan yang maha besar, karunia yang maha agung, tidak sukar bagi
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, untuk berbuat seperti itu.
Kita memohon supaya jangan termasuk golongan
yang bernasib sebaliknya dan tidak seperti itu, yang hanya mendengarkan saja
dan berpengetahuan saja dan melamunkannya saja tanpa mendapatkan manfaatnya,
dan kita memohon supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala jangan membuat ilmu
yang kita kaji sekarang ini, hanya jadi hujjah yang merugikan kita kelak
diyaumul kiyamah, dan kita memohon Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan
taufik kepada kita sekalian untuk mengamalkan yang demikian itu dan
melakukannya sebagaimana mestinya, sebagaimana yang diridoi oleh –Nya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu
Wa Ta’ala jua yang memberi rahmat dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala jua
yang Maha Pemurah. Nah, inilah isi kitab Minhajul Abidin yang diilhamkan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala kepadaku untuk menerangkan jalan ibadah itu dengan lengkap.
Sekarang, ketahuilah dengan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa
jumlah semuanya ini ada 7 tanjakan :
1.
Tanjakan Ilmu dan Ma’rifat
2.
Tanjakan Taubat
3.
Tanjakan Halangan
4.
Tanjakan Rintangan
5.
Tanjakan Pendorong
6.
Tanjakan Pencacad
7.
Tanjakan Puji dan Syukur
Dan dengan tamatnya
tanjakan-tanjakan ini, maka tamatlah kitab Minhajul Abidin ini. Sekarang akan
aku jelaskan tanjakan-tanjakan ini dengan keterangan-keterangan singkat yang
mengandug makna-makna penting. Masing-masing akan diterangkan dalam babnya
tersendiri, Insya Allah.
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala juga yang memberi taufiq dan membimbing kita dengan karuniaNya.
Wallahu ‘alam bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://sachrony.wordpress.com/2009/07/22/kh-ihsan-muhammad-dahlan-ulama-penulis-asal-jampes-kediri/
·
http://dedendida.blogspot.com/2011/02/kitab-munhajul-abidin-bagian-1.html
Dibuat : 11/29/2012 16:20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar