Selasa, 06 Agustus 2013

Makalah Perubahan Pola Pikir Filsafat (Filsafat Umum)



PERUBAHAN POLA PIKIR FILSAFAT


Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Anisa Listiana, M. Ag.


















Disusun oleh :

Abdur Rahman              : 312036
Abdur Rohim                 : 312042
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIST
TAHUN AKADEMIK 2012/2013


I.                   PENDAHULUAN
Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah;hati pernah Berjaya, juga pernah kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Diantara keduanya, dalam sejarah, telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Dominasi Akal dan Hati dari zaman ke zaman.

III.             PEMBAHASAN
Perubahan pola pikir manusia di bagian Barat di bagi pada empat zaman yaitu :
1.    PEMIKIRAN PADA ZAMAN YUNANI KUNO
Apa yang pernah dikatakan sebelum ini bahwa filsafat dan agama adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia, mulai kelihatan kebenarannya pada zaman Yunani itu. Filsafat pada dasarnya adalah akal, agama pada pokoknya adalah iman (hati, rasa). Oleh karena itu, wajarlah bila perkembangan budaya selalu dilatarbelakangi oleh pergulatan antara akal dan hati, antara rasio dan iman, antara filsafat dan agama. Ini sudah mulai kelihatan pada zaman Yunani kuno itu. Apa yang dapat dilihat? Pada tahap permulaan, yaitu pada Thales dan beberapa kawannya, akal mulai menonjol dominasinya, tetapi iman masih kelihatan memainkan peranannya. Filsafat Thales, misalnya, adanya pengaruh kepercayaan pada mitos Yunani; mitos adalah agama, jadi iman. Begitu juga pada Pythagoras, misalnya, kita pun masih dapat melihat adanya pengaruh mitos tersebut. Argumennya tentang angka-angka itu agaknya belum murni akliah; ordonya yang pantang beberapa jenis makanan, jelas merupakan indikator bahwa ia masih dipengaruhi oleh kepercayaan dalam berfilsafat. Jika diambil pukul rata, agaknya dapat dikatakan bahwa pada saat bertolaknya akal dan hati, rasio dan iman, filsafat dan agama masih sama-sama memegang dominasi dalam kehidupan.
Pada zaman sofis keadaan banyak berubah. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, juga semua kebenaran relative, yang merupakan ciri filsafat sofisme, jelas merupakan pertanda bahwa akal sudah menang mutlak terhadap iman. Lalu apa akibatnya ? kekacauan, yaitu kekacauan kebenaran. Tidak adanya ukuran yang dapat berlaku umum tentang kebenaran, jelas penyebab kekacauan itu. Akibat selanjutnya ialah semua teori sains, diragukan, semua akidah dan kaidah agama dicurigai. Ini sudah cukup dijadikan bukti bahwa manusia zaman itu telah hidup tanpa pegangan. Ini amat berbahaya. Keadaan itu disertai pula oleh munculnya “pembela-pembela” kebenaran, ya, orang sofis itu. Mereka mengajar, menjadi guru terutama bagi pemuda dalam filsafat, mereka menjadi filosof, dan menjadi hakim. Bayangkan apa yang akan terjadi lebih lanjut. Kekacauan meluas. Maka tampillah sang pembela kebenaran, yaitu Socrates, sang guru.
Misi Socrates amat jelas: menghentikan pemikiran sofis yang menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif. Pemikiran inilah yang menjadi biang keladi kekacauan itu. Cara yang ditempuh oleh Socrates muda ditebak, yaitu meyakinkan orang Athena, terutama para filosof dan hakim sofis, bahwa tidak semua kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum, yaitu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Inilah pengertian umum. Dalam kerangka ini pengertian umum inilah yang merupakan temuan Socrates yang terpenting.
Setelah orang dapat diyakinkan bahwa ada kebenaran yang umum, maka tidaklah terlalu sulit lagi mengajak orang kembali kepada agamanya. Akan tetapi, pengajaran Socrates itu harus dibayarnya dengan harga yang amat mahal: hukuman mati meminum racun.ini putusan pengadilan. Hakimnya, ya, orang sofis itu tadi. Akan tetapi, pemikiran Socrates itu bekerja. Inilah ajaibnya pemikiran: orangnya mati, pemikirannya tetap bekerja. Plato, murid dan sekaligus teman dan guru Socrates, memperkuat pendapat gurunya itu. Katanya, kebenaran umum memang ada, namanya idea. Idea itu telah ada sebelum manusia ada; ia ada di alam idea. Dengan ini pengertian umum Socrates diperkuat. Murid mereka yang satu lagi, yaitu Aristoteles, memperkuat pendapat guru-gurunya itu. Ia menulis buku yang menelanjangi kepalsuan logika orang-orang sofis itu. Ia pun sependapat bahwa pengertian umum yang kebenarannya berlaku umum memang ada, namanya definisi. Sampai di sini keadaan hegemoni berubah lagi: akal dan hati, rasio dan iman, filsafat dan agama sama-sama menang.
Keadaan itu tidak bertahan lama. Kurang lebih 300 tahun kemudian hegemoni terganggu lagi. Sejak meninggalnya Socrates, filsafat semakin lama semakin merosot dominasinya. Tepat pada ujung zaman helenisme, yaitu pada ujung tarikh sebelum Masehi, menjelang neo-Platonisme, filsafat benar-benar kehabisan bahan bakar; ia kalah. Selanjutnya pemikiran memasuki zaman Abad Pertengahan. Di sini agama dapat dikatakan menang mutlak, akal kalah total. Lalu, apa yang akan terjadi bila hegemoni akal dan iman terganggu?.[1]
2.    PEMIKIRAN PADA ZAMAN ABAD PERTENGAHAN
Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan dengan jelas pada filsafat Plotinus. Augustinus. Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan karena filsafatnya banyak mendapat kritik. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal yang hampir seratus persen pada zaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman sofis.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu, tujuan filsafat (dan tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius, salah seorang pengikut Plotinus, telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar, ahli dalam filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justinianus mengeluarkan undang-undang yang melarang ajaran filsafat apa pun di Athena.
Agustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran mutlak, yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam; kehidupan petapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubadzir, memboroskan waktu. Ia berkutat pada pendapat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Heliosentrisme ditolaknya. Intelektualisme tidak penting, yang penting ialah cinta kepada Tuhan. Tidak perlu berfikir, Tanya hati anda, siapa Pencipta alam ini. Untuk itu hati harus bersih, harus hidup. Maka kehidupan membujang (celibat) adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari astronomi. Mempelajari anatomi menjadikan manusia materialis. Filsafat dan sains jangan disentuh. Akal mati, hati menang.
Ciri khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu credo ut intelligam.
Credo ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argument untuk memahaminya, mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Di dalam ungkapan itu tersimpan pula pengertian bahwa seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat filsafat rasional. Dalam fisafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan; setelah dimengerti barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani. Mengikuti jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung filsafat Abad Pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itu pula maka menurut hemat saya tokoh utama peletak kekuatan filsafat Abad Pertengahan adalah St. Anselmus itu.
Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan ialah bahwa kaidah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat islam. Contoh yang menonjol dalam islam misalnya Al-Ghazali. Di dalam perbandingan ini kita menemukan semacam keganjilan. Mengapa penerapan kaidah itu dalam Kristen menimbulkan akibat sains dan filsafat terhadap perkembangannya, tetapi penerapan rumus itu dalam perkembangan pemikiran islam tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam islam?.
Kelihatannya filsafat credo ut intelligam itu tidak akan merugikan perkembangan filsafat dan sains seandainya wahyu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Hal ini kita temukan misalnya dalam Islam. Filsafat di dalam Islam berkembang amat pesat karena keyakinan (iman) Islam tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada ialah bagian-bagian yang berada di daerah supralogis atau suprarasional. Agaknya teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa filsafat tidak berkembang secara wajar selama lima belas abad pada periode Abad Pertengahan yang dikuasai oleh semangat Kristen itu. Jadi, dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak berkembang.
Sains, filsafat, dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi, pembatasan daerah kerja (kapling)-nya masing-masing harus jelas. Sains bekeja pada objek-objek sensasi, filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah abstrak supralogis. Yang seperti ini sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi (kemampuan): indra, akal, dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Kelemaahan lain dalam filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu ialah sifatnya yang terlalu yakin pada penafsiran teks Kitab Suci. Penafsiran sebenarnya tidak lebih berarti daripada sekedar filsafat juga. Jadi, penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolute. Karena filosof pada zaman itu rata-rata merangkap sebagai “orang suci” (saint), maka filsafat mereka telah menempati pengertian agama yang absolute dalam dirinya. Inilah barangkali yang menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan psikologis maupun fisis terhadap filosof lain yang pemikirannya berbeda dari pemikiran filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi Kitab Suci, melainkan penafsiran Kitab Suci oleh para saint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dan Galileo dengan pemikiran tokoh-tokoh Gereja, misalnya, telah menyebabkan kedua tokoh sains itu dihukum. Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut bukan berlawanan dengan Kitab Suci, melainkan berbeda dari pendapat tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci. Jika berlawanan dengan Kitab Suci, berarti Kitab Suci itu yang salah karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua ilmuwan itulah yang benar.
Uraian tadi menunjukkan bahwa pada Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (di Barat). Akibat-akibatnya amat mudah dipahami: filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan Yunani saja zaman ini tidak mampu.
Abad Pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa pembuktian tentang adanya Tuhan yang masih dipelajari orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu. Lima dalil tentang adanya Tuhan dan Aquinas itu sebenarnya tidaklah kuat sebagaimana yang diduganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya, terutama Kant.[2]
3.    PEMIKIRAN PADA ZAMAN MODERN
Setelah benteng Abad Pertengahan jebol oleh Descrates, filsafat itu lepas dari cengkraman agama (iman Kristen), maka laksana air bah, akal menyapu dan melabrak apa saja yang menghambatnya. Akal menang. Rasio bersorak-sorai kegirangan. Semenjak renaissance dihidupkan oleh Descrates dalam bidang filsafat, maka rasionalisme Yunani itu menjadi satu-satunya cara berfilsafat pada Zaman Modern, kecuali nanti pada kant.
Pada Zaman Modern filsafat ini berbagai aliran besar muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikira filsafat sofisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham-paham yang muncul dalam garis besarnya adalah rasionalisme, idealisme, empirisme, dan paham-paham yang merupakan pecahan dari aliran itu.
Paham rasionalisme mengajarkan bahwa akal (reason) itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Jelas ini merupakan reaksi keras terhadap dominasi iman pada Abad Pertengahan. Ada tiga tokoh penting yang dibicarakan disini sebagai mendukung rasionalisme: Descrates, Spinoza, dan Leibniz.
Penghargaan Descrates pada akal kelihatan dengan jelas dalam metode cogito-nya. “Badanku boleh saja diragukan adanya, tetapi aku yang berfikir tidak dapat diragukan.” Demikian kata Descrates. Pengetahuan yang clear and distinct pada Descrates ini diambil oleh Spinoza dan diberi nama adequate ideas, dan pada Leibniz truths of reason.
Rasionalisme Spinoza bergerak dari definisi kepada aksioma dan proposisi. Ujungnya antara lain ialah alam semesta adalah Tuhan. Setelah dipikir-pikir olehnya, ia berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak memperhatikan sesuatu, tidak juga manusia. Kata Spinoza, hanya itulah yang dapat diketahui oleh akal tentang Tuhan. Konsep Tuhan mulai kabur. Leibniz adalah filosof monad-monad, suatu analisis yang rumit tentang metafisika, dan amat spekulatif. Akhirnya ia berpendapat bahwa ruang dan waktu yang absolute (Newton) harus ditolak. Oleh karena itu, “Kapan alam semesta muncul” adalah pertanyaan yang tidak relevan.
Pemikiran rasionalisme itu ditingkahi pula oleh idealism. Paham ini mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah jiwa, spirit. Idea Plato tentulah jalan yang paling mungkin untuk mempelajari paham idealism Zaman Modern. Berdasarkan paham idealisme seperti itu Fichte menyatakan bahwa dibelakang kita yang ada ialah Absolute Mind. Pada Schelling, realitas itu identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis. Ini menyiapkan jalan bagi dialektika Hegel. Hegel berarti puncak idealism Jerman. Idealismenya terlihat pada pusat filsafatnya, yaitu Geist (roh,jiwa). Roh itu real, kongkret, objektif; demikian kata Hegel. Ini suatu paham yang sulit dipahami. Roh itu menumbuh pada objek-objek yang khusus. Roh itulah esensi manusia dan esensi sejarah manusia.
Antara rasionalisme dan idealisme tidak ada pertengkaran. Akan tetapi, bila berhadapan dengan empirisme, persoalannya menjadi lain. Empirisme amat berbeda dan berlawanan dengan idealisme dan rasionalisme. Tokoh-tokoh empirisme menolak ide-ide pokok orang rasionalis dan idealis. Rumusan pokok filsafat empirisme ialah: tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Dari sini Locke menolak akal, menolak innate idea, menolak clear and distinct (Descrates), adequate idea (Spinoza), truths of reason (Leibniz). Jiwa itu kosong; isinya hanyalah yang datang dari pengalaman. Tentang substansi Locke berkata we know not what (kita tidak tahu apa). Empirisme Hume memuncak menjadi skeptisme tingkat tinggi. Pengetahuan sains pun tidak dapat dipegang secara meyakinkan. Spencer, tokoh empirisme juga, menyangsingkan roh, tidak mengetahui masalah-masalah metafisika selain sebagai the great unknowable (rahasia benar). Kita hanya dapat mengenali gejala-gejala empirik; apa yang ada di belakangnya kita tidak tahu.
Ketiga aliran besar ini (rasionalisme, idealisme, empirisme) telah cukup untuk menjadikan filsafat modern membingungkan orang modern. Rasionalisme dan idealisme mengatakan roh yang hakikat; empirisme mengatakan benda-benda yang hakikat, dan roh tidak ada. Akibatnya pada sains dan agama sudah jelas: sains dicurigai (terutama pada Hume) dan agama diragukan. Keadaan ini mungkin lebih parah ketimbang kebingungan orang pada zaman Socrates karena filsafat sofisme. Keadaan inilah yang dihadapi oleh Kant, seperti Socrates menghadapi sofisme Yunani 2000 tahun yang lalu.
Cara Kant menyelesaikan soal ini pada dasarnya sama dengan cara Socrates tempo hari. Ia menyatakan bahwa akal ada daerahnya dan hati (iman) ada daerahnya. Bila akal memasuki daerah hati, maka ia akan hilang dalam paralogisme. Sains dan agama sama-sama dapat dipegang, sama-sama diperlukan. Skeptis terhadap sains amat berbahaya; keraguan kepada agama sama juga bahayanya. Pemikiran berjalan terus.
Pragmatisme Peirce di tangan James merelatifkan agama dan sains. Eksistensialisme Kiekegaard di tangan Sartre menjadi ateisme. Sementara itu, penganut Kant tetap besar juga jumlahnya. Mestinya semenjak Kant telah “berhasil” membela sains dan agama, persoalan selesai. Akan tetapi, ternyata menurut akal (beberapa filosof), analisis Kant tidak kuat. Pada zaman modern ini ternyata semuanya ada: ateisme, idealisme, rasionalisme, materialisme, agama masing-masing ada penganutnya. Kekacauan nilai masih berlangsung sampai hari ini.[3]
4.    PEMIKIRAN PADA ZAMAN PASCAMODERN
Pada zaman pascamodern banyak filsafat yang berpengaruh sampai saat ini yaitu :
1.         Idealisme
Tokoh pelopor Idealisme Jerman ialah G.W.F HEGEL, Corak umum filsafat Hegel mencoba mencari yang mutlak dari yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh (jiwa), tetapi roh itu menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh ini dalam intinya idea, artinya : berfikir. Dalam sejarah kemanusian sadarlah roh ini akan dirinya. Demikian kemanusian itu merupakan bagian pula dari idea yang mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak, bukanlah gerak yang maju terus, melainkan gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini mewujudkan thesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertentangan, antithesis. Adanya tesis dan antithesisnya itu menimbulkan synthesis dan ini merupakan thesis baru yang sendirinya memunculkan antithesisnya serta terjadinya synthesis baru. Maka demikian ada proses dalam idea. Proses ini disebut HEGEL dialectica. Proses itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian. Proses ini berlaku menurut hukum budi. Sebab itu yang menjadi axioma HEGEL : apa yang masuk akal (dapat dipahami), itu sungguh dan apa yang sungguh itu dapat dipahami.[4]
2.         Positivisme
Salah satu tokoh Positivisme yang terkenal ialah A. COMTE (1798-1857). Menurut dia supaya ada masyarakat baru yang teratur, haruslah lebih dulu diperbaiki jiwa atau budi. Adapun budi itu menurut COMTE mengalami tiga tingkatan, dan tingkatan itu terdapat juga pada hidup tiap-tiap manusia, pun pada sejarah ilmu semua.
Tingkatan pertama ialah tingkat teologi, yang menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkat kedua ialah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi; tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan.
Masa sekarang ini (Masa COMTE) haruslah mengabadikan ilmu yang disebutnya positif. Di samping matematika fisika dan biologia dalam ilmu kemasyarakatan pun semangat positif ini harus dimasukkan. Apa-apa yang tidak positif itu tidak dapat kita alami dan dalam pada itu baiklah orang mengatakan, bahwa ia tidak tahu saja.[5]
3.         Pragmatisme
Beberapa ahli pikir yang dapat dimasukkan pada golongan pragmatisme adalah :
William James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru! Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Bukunya yang terkenal ialah pragmatism (1907).
Bagi John Dewey (1859-1952) tak adalah sesuatu yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia dalam pada itu menjumpai kesulitan, maka mulailah ia berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berfikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman . kebenarannya hanya dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan pun DEWEY banyak pengaruhnya.
Demikianlah kebenaran tidak berdasarkan persesuaian antara pengetahuan dan obyek. Pengaruhnya tidak hanya di Amerika saja, melainkan meluap juga ke Eropa. Ferdinand Schiller (1864-1937) dan Georges Santayana (lahir 1863) harus juga dimasukkan pada golongan penganut pragmatisme.
Tetapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi filsuf terakhir ini karena amat banyak pengaruh yang bertentangan yang dialaminya.[6]
4.         Fenomenologi
Fenomenologi itu ciptaan Husserl (1859-1938). Ia sendiri terpengaruhi oleh Brentano (1838-1917). Filsafat Husserl memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia berfilsafat tentang ilmu pasti, kemudian sampai jugalah ia kepada renungan tentang filsafat pada umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu Descrates ia berpendapat bahwa adanya bermacam-macam alian dalam filsafat yang satu sama lain bertentangan itu karena orang tidak mulai dengan metode dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu haruslah dicari satu metode yang memungkinkan kita berfikir, tanpa mendasarkan pikiran itu kepada suatu pendapat lebih dulu. Biasanya orang berfikir setelah mempunyai suatu teori atau pendirian sendiri. Itu tidak benar, demikian Husserl, orang harus mulai dengan mengamat-ngamati hal sendiri tanpa dasar suatu pun : “Zu den Sachen selbst”. Ia memerlukan analisa kesadaran. Maka analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarahkan kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah nampak obyek dalam kesadaran (gejala-fenomenon), maka gejala ini diselidiki pula. Sungguh tidaknya obyek itu tidaklah masuk ke dalam penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah yang sungguh-sungguh merupakan inti-sarinya, adapun yang diluar inti-sari itu tidak dihiraukan. Tetapi bukanlah ini dengan cara abstraksi seperti ajaran Tomisme, melainkan inti itu tercapai oleh intuisi : inti itu terpandangi oleh budi.
Demikian terdapatlah inti susunan kesadaran. Akan tetapi ini lain dari kesadaran empiris, ini kesadaran transendental.[7]
IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah dari kami, mohon ma’af apabila ada salah, khususnya dalam masalah pengetikan, karena kami hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Dan untuk itu kami mohon atas partisipasinya untuk ikut memberi kritik yang membangun atas makalah kami. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
  • Tafsir. Ahmad, Filsafat Umum Cet. VIII Tahun 2000
  • Poedjawiyatna, Yogyakarta, UGM Press tahun 1984



[1] Tafsir. Ahmad, Filsafat Umum, Cet. VIII, tahun 2000, hal 63-65
[2] Ibid, hal 113-116
[3] Ibid, hal 233-235
[4] Poedjawiyatna, Yogyakarta, UGM Press tahun 1984, hal 110-111
[5] Ibid, hal 115
[6] Ibid, hal 128
[7] Ibid, 134-135

Dibuat : 3/27/2013 13:09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar