PERUBAHAN POLA PIKIR FILSAFAT
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Anisa
Listiana, M. Ag.
Disusun oleh :
Abdur Rahman : 312036
Abdur Rohim : 312042

SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR
HADIST
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
I.
PENDAHULUAN
Di dalam sejarah filsafat
kelihatan akal pernah menang, pernah kalah;hati pernah Berjaya, juga pernah
kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Diantara keduanya, dalam
sejarah, telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan
kehidupan manusia.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Dominasi Akal dan Hati dari zaman ke zaman.
III.
PEMBAHASAN
Perubahan pola pikir
manusia di bagian Barat di bagi pada empat zaman yaitu :
1.
PEMIKIRAN
PADA ZAMAN YUNANI KUNO
Apa yang pernah dikatakan sebelum
ini bahwa filsafat dan agama adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia, mulai
kelihatan kebenarannya pada zaman Yunani itu. Filsafat pada dasarnya adalah
akal, agama pada pokoknya adalah iman (hati, rasa). Oleh karena itu, wajarlah
bila perkembangan budaya selalu dilatarbelakangi oleh pergulatan antara akal
dan hati, antara rasio dan iman, antara filsafat dan agama. Ini sudah mulai
kelihatan pada zaman Yunani kuno itu. Apa yang dapat dilihat? Pada tahap permulaan,
yaitu pada Thales dan beberapa kawannya, akal mulai menonjol dominasinya,
tetapi iman masih kelihatan memainkan peranannya. Filsafat Thales, misalnya,
adanya pengaruh kepercayaan pada mitos Yunani; mitos adalah agama, jadi iman.
Begitu juga pada Pythagoras, misalnya, kita pun masih dapat melihat adanya
pengaruh mitos tersebut. Argumennya tentang angka-angka itu agaknya belum murni
akliah; ordonya yang pantang beberapa jenis makanan, jelas merupakan indikator
bahwa ia masih dipengaruhi oleh kepercayaan dalam berfilsafat. Jika diambil
pukul rata, agaknya dapat dikatakan bahwa pada saat bertolaknya akal dan hati,
rasio dan iman, filsafat dan agama masih sama-sama memegang dominasi dalam
kehidupan.
Pada zaman sofis keadaan banyak
berubah. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah
ukuran kebenaran, juga semua kebenaran relative, yang merupakan ciri filsafat
sofisme, jelas merupakan pertanda bahwa akal sudah menang mutlak terhadap iman.
Lalu apa akibatnya ? kekacauan, yaitu kekacauan kebenaran. Tidak adanya ukuran
yang dapat berlaku umum tentang kebenaran, jelas penyebab kekacauan itu. Akibat
selanjutnya ialah semua teori sains, diragukan, semua akidah dan kaidah agama
dicurigai. Ini sudah cukup dijadikan bukti bahwa manusia zaman itu telah hidup
tanpa pegangan. Ini amat berbahaya. Keadaan itu disertai pula oleh munculnya
“pembela-pembela” kebenaran, ya, orang sofis itu. Mereka mengajar, menjadi guru
terutama bagi pemuda dalam filsafat, mereka menjadi filosof, dan menjadi hakim.
Bayangkan apa yang akan terjadi lebih lanjut. Kekacauan meluas. Maka tampillah
sang pembela kebenaran, yaitu Socrates, sang guru.
Misi Socrates amat jelas:
menghentikan pemikiran sofis yang menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif.
Pemikiran inilah yang menjadi biang keladi kekacauan itu. Cara yang ditempuh
oleh Socrates muda ditebak, yaitu meyakinkan orang Athena, terutama para
filosof dan hakim sofis, bahwa tidak semua kebenaran itu relatif; ada kebenaran
yang umum, yaitu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Inilah
pengertian umum. Dalam kerangka ini pengertian umum inilah yang merupakan
temuan Socrates yang terpenting.
Setelah orang dapat diyakinkan bahwa
ada kebenaran yang umum, maka tidaklah terlalu sulit lagi mengajak orang
kembali kepada agamanya. Akan tetapi, pengajaran Socrates itu harus dibayarnya
dengan harga yang amat mahal: hukuman mati meminum racun.ini putusan
pengadilan. Hakimnya, ya, orang sofis itu tadi. Akan tetapi, pemikiran Socrates
itu bekerja. Inilah ajaibnya pemikiran: orangnya mati, pemikirannya tetap
bekerja. Plato, murid dan sekaligus teman dan guru Socrates, memperkuat
pendapat gurunya itu. Katanya, kebenaran umum memang ada, namanya idea. Idea
itu telah ada sebelum manusia ada; ia ada di alam idea. Dengan ini pengertian umum
Socrates diperkuat. Murid mereka yang satu lagi, yaitu Aristoteles, memperkuat
pendapat guru-gurunya itu. Ia menulis buku yang menelanjangi kepalsuan logika
orang-orang sofis itu. Ia pun sependapat bahwa pengertian umum yang
kebenarannya berlaku umum memang ada, namanya definisi. Sampai di sini keadaan
hegemoni berubah lagi: akal dan hati, rasio dan iman, filsafat dan agama
sama-sama menang.
Keadaan itu tidak bertahan lama.
Kurang lebih 300 tahun kemudian hegemoni terganggu lagi. Sejak meninggalnya
Socrates, filsafat semakin lama semakin merosot dominasinya. Tepat pada ujung
zaman helenisme, yaitu pada ujung tarikh sebelum Masehi, menjelang
neo-Platonisme, filsafat benar-benar kehabisan bahan bakar; ia kalah.
Selanjutnya pemikiran memasuki zaman Abad Pertengahan. Di sini agama dapat
dikatakan menang mutlak, akal kalah total. Lalu, apa yang akan terjadi bila
hegemoni akal dan iman terganggu?.[1]
2.
PEMIKIRAN PADA ZAMAN ABAD
PERTENGAHAN
Akal pada Abad Pertengahan ini
benar-benar kalah. Hal itu kelihatan dengan jelas pada filsafat Plotinus.
Augustinus. Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali,
dan karena filsafatnya banyak mendapat kritik. Sebagaimana telah dikatakan,
Abad Pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal yang hampir seratus
persen pada zaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman sofis.
Pemasungan akal dengan jelas
terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili
metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu,
tujuan filsafat (dan tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan.
Jadi, dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci,
pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting;
mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia.
Karena Simplicius, salah seorang pengikut Plotinus, telah menutup sama sekali
ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus
menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan filsafat (akal) harus
dimusuhi. Maka pada tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar, ahli dalam
filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justinianus mengeluarkan
undang-undang yang melarang ajaran filsafat apa pun di Athena.
Agustinus mengganti akal dengan iman;
potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Allah. Ia
mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu
relatif. Kebenaran mutlak, yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam;
kehidupan petapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian.
Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubadzir, memboroskan
waktu. Ia berkutat pada pendapat bahwa bumi adalah pusat jagat raya.
Heliosentrisme ditolaknya. Intelektualisme tidak penting, yang penting ialah
cinta kepada Tuhan. Tidak perlu berfikir, Tanya hati anda, siapa Pencipta alam
ini. Untuk itu hati harus bersih, harus hidup. Maka kehidupan membujang
(celibat) adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari astronomi. Mempelajari
anatomi menjadikan manusia materialis. Filsafat dan sains jangan disentuh. Akal
mati, hati menang.
Ciri khas filsafat Abad Pertengahan
terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu
credo ut intelligam.
Credo ut intelligam kira-kira
berarti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya,
bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argument untuk memahaminya,
mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Di dalam ungkapan itu tersimpan
pula pengertian bahwa seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan
karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini iman secara rasional.
Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus
diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat
filsafat rasional. Dalam fisafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan;
setelah dimengerti barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani. Mengikuti
jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung filsafat Abad
Pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itu pula
maka menurut hemat saya tokoh utama peletak kekuatan filsafat Abad Pertengahan
adalah St. Anselmus itu.
Apakah kaidah ini (iman agar
mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum?
Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat
dikemukakan ialah bahwa kaidah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat
islam. Contoh yang menonjol dalam islam misalnya Al-Ghazali. Di dalam
perbandingan ini kita menemukan semacam keganjilan. Mengapa penerapan kaidah
itu dalam Kristen menimbulkan akibat sains dan filsafat terhadap
perkembangannya, tetapi penerapan rumus itu dalam perkembangan pemikiran islam
tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam islam?.
Kelihatannya filsafat credo ut
intelligam itu tidak akan merugikan perkembangan filsafat dan sains seandainya
wahyu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal
logis. Hal ini kita temukan misalnya dalam Islam. Filsafat di dalam Islam
berkembang amat pesat karena keyakinan (iman) Islam tidak ada yang berlawanan
dengan akal logis; yang ada ialah bagian-bagian yang berada di daerah
supralogis atau suprarasional. Agaknya teori inilah yang dapat menjelaskan
mengapa filsafat tidak berkembang secara wajar selama lima belas abad pada
periode Abad Pertengahan yang dikuasai oleh semangat Kristen itu. Jadi,
dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak
berkembang.
Sains, filsafat, dan iman (rasa)
sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi, pembatasan
daerah kerja (kapling)-nya masing-masing harus jelas. Sains bekeja pada
objek-objek sensasi, filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati
(rasa) bekerja pada daerah-daerah abstrak supralogis. Yang seperti ini
sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia
memiliki tiga potensi (kemampuan): indra, akal, dan kontemplasi. Hasil kerja
masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama.
Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang
sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.
Kelemaahan lain dalam filsafat Kristen
pada Abad Pertengahan itu ialah sifatnya yang terlalu yakin pada penafsiran
teks Kitab Suci. Penafsiran sebenarnya tidak lebih berarti daripada sekedar
filsafat juga. Jadi, penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya,
tidak absolute. Karena filosof pada zaman itu rata-rata merangkap sebagai
“orang suci” (saint), maka filsafat mereka telah menempati pengertian agama
yang absolute dalam dirinya. Inilah barangkali yang menyebabkan terjadinya
tekanan-tekanan psikologis maupun fisis terhadap filosof lain yang pemikirannya
berbeda dari pemikiran filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu agama Kristen
boleh dikatakan bukan lagi Kitab Suci, melainkan penafsiran Kitab Suci oleh
para saint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dan Galileo dengan pemikiran
tokoh-tokoh Gereja, misalnya, telah menyebabkan kedua tokoh sains itu dihukum.
Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut bukan berlawanan dengan Kitab Suci,
melainkan berbeda dari pendapat tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci.
Jika berlawanan dengan Kitab Suci, berarti Kitab Suci itu yang salah karena
bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua ilmuwan itulah yang benar.
Uraian tadi menunjukkan bahwa pada
Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan
berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (di Barat). Akibat-akibatnya
amat mudah dipahami: filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang
baru, menjaga warisan Yunani saja zaman ini tidak mampu.
Abad Pertengahan melahirkan juga
filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang
habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi jalan pemikiran. Tekanan terhadap
pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang. Oleh karena itu,
ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa
pembuktian tentang adanya Tuhan yang masih dipelajari orang hingga saat ini.
Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu.
Lima dalil tentang adanya Tuhan dan Aquinas itu sebenarnya tidaklah kuat sebagaimana
yang diduganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya, terutama Kant.[2]
3.
PEMIKIRAN PADA ZAMAN MODERN
Setelah benteng Abad Pertengahan
jebol oleh Descrates, filsafat itu lepas dari cengkraman agama (iman Kristen),
maka laksana air bah, akal menyapu dan melabrak apa saja yang menghambatnya.
Akal menang. Rasio bersorak-sorai kegirangan. Semenjak renaissance dihidupkan
oleh Descrates dalam bidang filsafat, maka rasionalisme Yunani itu menjadi
satu-satunya cara berfilsafat pada Zaman Modern, kecuali nanti pada kant.
Pada Zaman Modern filsafat ini
berbagai aliran besar muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern
itu mengambil warna pemikira filsafat sofisme Yunani, sedikit pengecualian pada
Kant. Paham-paham yang muncul dalam garis besarnya adalah rasionalisme,
idealisme, empirisme, dan paham-paham yang merupakan pecahan dari aliran itu.
Paham rasionalisme mengajarkan bahwa
akal (reason) itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan.
Jelas ini merupakan reaksi keras terhadap dominasi iman pada Abad Pertengahan.
Ada tiga tokoh penting yang dibicarakan disini sebagai mendukung rasionalisme:
Descrates, Spinoza, dan Leibniz.
Penghargaan Descrates pada akal
kelihatan dengan jelas dalam metode cogito-nya. “Badanku boleh saja diragukan
adanya, tetapi aku yang berfikir tidak dapat diragukan.” Demikian kata
Descrates. Pengetahuan yang clear and distinct pada Descrates ini diambil oleh
Spinoza dan diberi nama adequate ideas, dan pada Leibniz truths of reason.
Rasionalisme Spinoza bergerak dari
definisi kepada aksioma dan proposisi. Ujungnya antara lain ialah alam semesta
adalah Tuhan. Setelah dipikir-pikir olehnya, ia berkesimpulan bahwa Tuhan itu
tidak memperhatikan sesuatu, tidak juga manusia. Kata Spinoza, hanya itulah
yang dapat diketahui oleh akal tentang Tuhan. Konsep Tuhan mulai kabur. Leibniz
adalah filosof monad-monad, suatu analisis yang rumit tentang metafisika, dan
amat spekulatif. Akhirnya ia berpendapat bahwa ruang dan waktu yang absolute
(Newton) harus ditolak. Oleh karena itu, “Kapan alam semesta muncul” adalah
pertanyaan yang tidak relevan.
Pemikiran rasionalisme itu
ditingkahi pula oleh idealism. Paham ini mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah
jiwa, spirit. Idea Plato tentulah jalan yang paling mungkin untuk mempelajari
paham idealism Zaman Modern. Berdasarkan paham idealisme seperti itu Fichte
menyatakan bahwa dibelakang kita yang ada ialah Absolute Mind. Pada Schelling,
realitas itu identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis.
Ini menyiapkan jalan bagi dialektika Hegel. Hegel berarti puncak idealism
Jerman. Idealismenya terlihat pada pusat filsafatnya, yaitu Geist (roh,jiwa).
Roh itu real, kongkret, objektif; demikian kata Hegel. Ini suatu paham yang
sulit dipahami. Roh itu menumbuh pada objek-objek yang khusus. Roh itulah
esensi manusia dan esensi sejarah manusia.
Antara rasionalisme dan idealisme
tidak ada pertengkaran. Akan tetapi, bila berhadapan dengan empirisme,
persoalannya menjadi lain. Empirisme amat berbeda dan berlawanan dengan
idealisme dan rasionalisme. Tokoh-tokoh empirisme menolak ide-ide pokok orang
rasionalis dan idealis. Rumusan pokok filsafat empirisme ialah: tidak ada
sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Dari sini Locke
menolak akal, menolak innate idea, menolak clear and distinct (Descrates),
adequate idea (Spinoza), truths of reason (Leibniz). Jiwa itu kosong; isinya
hanyalah yang datang dari pengalaman. Tentang substansi Locke berkata we know
not what (kita tidak tahu apa). Empirisme Hume memuncak menjadi skeptisme
tingkat tinggi. Pengetahuan sains pun tidak dapat dipegang secara meyakinkan.
Spencer, tokoh empirisme juga, menyangsingkan roh, tidak mengetahui
masalah-masalah metafisika selain sebagai the great unknowable (rahasia benar).
Kita hanya dapat mengenali gejala-gejala empirik; apa yang ada di belakangnya
kita tidak tahu.
Ketiga aliran besar ini
(rasionalisme, idealisme, empirisme) telah cukup untuk menjadikan filsafat
modern membingungkan orang modern. Rasionalisme dan idealisme mengatakan roh
yang hakikat; empirisme mengatakan benda-benda yang hakikat, dan roh tidak ada.
Akibatnya pada sains dan agama sudah jelas: sains dicurigai (terutama pada
Hume) dan agama diragukan. Keadaan ini mungkin lebih parah ketimbang
kebingungan orang pada zaman Socrates karena filsafat sofisme. Keadaan inilah
yang dihadapi oleh Kant, seperti Socrates menghadapi sofisme Yunani 2000 tahun
yang lalu.
Cara Kant menyelesaikan soal ini
pada dasarnya sama dengan cara Socrates tempo hari. Ia menyatakan bahwa akal
ada daerahnya dan hati (iman) ada daerahnya. Bila akal memasuki daerah hati,
maka ia akan hilang dalam paralogisme. Sains dan agama sama-sama dapat
dipegang, sama-sama diperlukan. Skeptis terhadap sains amat berbahaya; keraguan
kepada agama sama juga bahayanya. Pemikiran berjalan terus.
Pragmatisme Peirce di tangan James
merelatifkan agama dan sains. Eksistensialisme Kiekegaard di tangan Sartre
menjadi ateisme. Sementara itu, penganut Kant tetap besar juga jumlahnya.
Mestinya semenjak Kant telah “berhasil” membela sains dan agama, persoalan
selesai. Akan tetapi, ternyata menurut akal (beberapa filosof), analisis Kant
tidak kuat. Pada zaman modern ini ternyata semuanya ada: ateisme, idealisme,
rasionalisme, materialisme, agama masing-masing ada penganutnya. Kekacauan
nilai masih berlangsung sampai hari ini.[3]
4.
PEMIKIRAN PADA ZAMAN
PASCAMODERN
Pada zaman pascamodern banyak filsafat yang
berpengaruh sampai saat ini yaitu :
1.
Idealisme
Tokoh pelopor Idealisme Jerman ialah G.W.F
HEGEL, Corak umum filsafat Hegel mencoba mencari yang mutlak dari yang tidak
mutlak. Yang mutlak itu roh (jiwa), tetapi roh itu menjelma pada alam dan
dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh ini dalam intinya idea, artinya :
berfikir. Dalam sejarah kemanusian sadarlah roh ini akan dirinya. Demikian
kemanusian itu merupakan bagian pula dari idea yang mutlak, Tuhan sendiri. Idea
yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak, bukanlah gerak yang maju terus,
melainkan gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini mewujudkan thesis yang
dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertentangan, antithesis. Adanya tesis
dan antithesisnya itu menimbulkan synthesis dan ini merupakan thesis baru yang
sendirinya memunculkan antithesisnya serta terjadinya synthesis baru. Maka
demikian ada proses dalam idea. Proses ini disebut HEGEL dialectica. Proses
itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian. Proses ini berlaku
menurut hukum budi. Sebab itu yang menjadi axioma HEGEL : apa yang masuk akal
(dapat dipahami), itu sungguh dan apa yang sungguh itu dapat dipahami.[4]
2.
Positivisme
Salah satu tokoh Positivisme yang terkenal
ialah A. COMTE (1798-1857). Menurut dia supaya ada masyarakat baru yang
teratur, haruslah lebih dulu diperbaiki jiwa atau budi. Adapun budi itu menurut
COMTE mengalami tiga tingkatan, dan tingkatan itu terdapat juga pada hidup
tiap-tiap manusia, pun pada sejarah ilmu semua.
Tingkatan pertama ialah tingkat teologi, yang
menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi
kodrat; tingkat kedua ialah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala
sesuatu melalui abstraksi; tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang
hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah
tertentukan.
Masa sekarang ini (Masa COMTE) haruslah
mengabadikan ilmu yang disebutnya positif. Di samping matematika fisika dan
biologia dalam ilmu kemasyarakatan pun semangat positif ini harus dimasukkan.
Apa-apa yang tidak positif itu tidak dapat kita alami dan dalam pada itu
baiklah orang mengatakan, bahwa ia tidak tahu saja.[5]
3.
Pragmatisme
Beberapa ahli pikir yang dapat dimasukkan pada
golongan pragmatisme adalah :
William James (1842-1910) pengertian atau
putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat
dipergunakan itu keliru! Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan itu benar,
tidak saja jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika
bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Bukunya
yang terkenal ialah pragmatism (1907).
Bagi John Dewey (1859-1952) tak adalah sesuatu
yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia
dalam pada itu menjumpai kesulitan, maka mulailah ia berfikir untuk mengatasi
kesulitan itu. Maka dari itu berfikir tidaklah lain daripada alat untuk
bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman . kebenarannya hanya dapat
ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan pun
DEWEY banyak pengaruhnya.
Demikianlah kebenaran tidak berdasarkan
persesuaian antara pengetahuan dan obyek. Pengaruhnya tidak hanya di Amerika
saja, melainkan meluap juga ke Eropa. Ferdinand Schiller (1864-1937) dan
Georges Santayana (lahir 1863) harus juga dimasukkan pada golongan penganut
pragmatisme.
Tetapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi
filsuf terakhir ini karena amat banyak pengaruh yang bertentangan yang
dialaminya.[6]
4.
Fenomenologi
Fenomenologi itu ciptaan Husserl (1859-1938).
Ia sendiri terpengaruhi oleh Brentano (1838-1917). Filsafat Husserl memang
mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia berfilsafat tentang ilmu
pasti, kemudian sampai jugalah ia kepada renungan tentang filsafat pada umumnya
serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu Descrates ia berpendapat bahwa adanya
bermacam-macam alian dalam filsafat yang satu sama lain bertentangan itu karena
orang tidak mulai dengan metode dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu haruslah dicari satu metode yang memungkinkan kita berfikir,
tanpa mendasarkan pikiran itu kepada suatu pendapat lebih dulu. Biasanya orang
berfikir setelah mempunyai suatu teori atau pendirian sendiri. Itu tidak benar,
demikian Husserl, orang harus mulai dengan mengamat-ngamati hal sendiri tanpa
dasar suatu pun : “Zu den Sachen selbst”. Ia memerlukan analisa kesadaran. Maka
analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu
terarahkan kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu
sendiri, maka haruslah nampak obyek dalam kesadaran (gejala-fenomenon), maka
gejala ini diselidiki pula. Sungguh tidaknya obyek itu tidaklah masuk ke dalam
penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah yang sungguh-sungguh merupakan
inti-sarinya, adapun yang diluar inti-sari itu tidak dihiraukan. Tetapi
bukanlah ini dengan cara abstraksi seperti ajaran Tomisme, melainkan inti itu
tercapai oleh intuisi : inti itu terpandangi oleh budi.
Demikian terdapatlah inti susunan kesadaran.
Akan tetapi ini lain dari kesadaran empiris, ini kesadaran transendental.[7]
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah dari kami,
mohon ma’af apabila ada salah, khususnya dalam masalah pengetikan, karena kami
hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Dan untuk itu kami mohon atas
partisipasinya untuk ikut memberi kritik yang membangun atas makalah kami.
Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
- Tafsir. Ahmad, Filsafat Umum Cet. VIII
Tahun 2000
- Poedjawiyatna, Yogyakarta, UGM Press tahun
1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar