Jumat, 16 Mei 2014

Cara Mempercepat Koneksi Internet Modem

CARA MEMPERCEPAT KONEKSI INTERNET MODEM

Gimana sobat kabarnya hari ini?, pada kesempatan kali ini saya akan memposting artikel tentang Cara Mudah Mempercepat Koneksi Modem, pastinya ini akan membantu sobat yang punya modem di rumah, yang setiap hari main internet, hehe. Dan mungkin sobat juga sempat kesal bukan dengan koneksi yang lemot? Cara berikut sangatlah mudah karena tidak perlu memakai software, hanyalah mengubah settingan dari modem sobat,dan tidak hanya itu cara ini bisa dipakai untuk semua versi windows, dimulai dari XP, VISTA, Windows 7, dan Windows 8. Silahkan disimak.

Cara Mudah Mempercepat Koneksi Modem

  1. Klik icon "Internet Accsess" yang terletak di try icon pada laptop sobat.

  2. Kemudian pada tampilan berikutnya, pilih koneksi internet yang biasa sobat gunakan, klik kanan lalu pilih “Properties”.

  3. Lalu akan tampil seperti ini, klik “Configure”

  4. Pada pilihan "Maximum Speed” sobat pilih yang paling besar,lalu tandai atau beri tanda cek pada semua Hardware nya.Kalau sudah selesai klik “OK”

  5. Jika semua setting sudah dilakukan, sekarang tinggal melakukan koneksi modemnya, yang perlu diperhatikan oleh sobat yaitu pada saat melakukan koneksi jangan menggunakan software bawaan modem, tetapi menggunakan panel “Internet Acces”.

     

Demikian sobat beberapa langkah untuk Cara Mudah Mempercepat Koneksi Modem sobat, sobat bisa mempratekkanya, dan bisa melihat hasilnya,^_^.

Kamis, 15 Mei 2014

Cara Mempercepat Kinerja Komputer/Laptop Windows 8 Terbaru

Cara Mempercepat Kinerja Komputer/Laptop Windows 8 Terbaru

Bagi anda pengguna windows 8 ingin mempercepat kinerja windows 8 sangatlah mudah saya akan membagikan tips dan trik untuk mempercepatnya.


Tips # 1 – Mengaktifkan Fast Startup



Fast Startup adalah fitur barunya Windows 8 yang membantu booting komputer menjadi lebih cepat daripada shutdown. Ada banyak aspek teknis di balik fitur ini yang tidak akan benar-benar dijelaskan secara rinci di sini, tetapi pada dasarnya Windows 8 tidak memuat semuanya dari awal saat booting sehingga membuat waktu bootingnya menjadi lebih pendek.

Jika Anda belum mengaktifkan Fast Startup, disarankan diaktifkan dan rasakan bedanya.
Mausuk Poer Option > pilih Choose what the power buttons do > Klik pada Change setting that are currently unavailable.




Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru

Tip # 2 – Mengoptimalkan Harddisk



Tetap optimalkan harddisk Anda menggunakan fitur Optimize Drives di Windows 8. Fitur ini pada dasarnya sebagai pengganti dari Disk Defragmenter. Pastikan optimasi tiap minggunya diaktifkan untuk semua harddisk Anda.




Tip # 3 – Adjust for Best Performance



Kami selalu menemukan animasi, bayangan dan efek visual kecil lainnya yang kurang berguna di Windows 8. Seperti pada versi Windows sebelumnya, Anda dapat menonaktifkannya dengan klik kanan pada Computer, pilih Properties dan klik pada Advanced System Settings.

.
Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru



Pada dialog System Properties, klik pada tab Advanced dan klik pada Settings di bawah Performance.



Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru



Terakhir, klik pada Adjust for best performance, yang akan menonaktifkan semua animasi dan efek.



Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru



Tips # 4 – Startup Item


Seperti pada semua versi Windows, Anda perlu menonaktifkan semua item startup yang kurang berguna dan hal ini bisa juga dilakukan di Windows 8. Jika pada versi Windows sebelumnya Anda perlu membuka item startup dengan MSCONFIG tapi pada Windwos 8 ini Anda bisa menemukannya di Task Manager. Buka Task Manager dan nonaktifkan apapun yang tidak ingin dimuat pada saat masuk ke Windows 8.


Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru



Kerennya di Windows 8 adalah Windows 8 juga memberikan Anda Startup impact score sehingga Anda dapat dengan cepat melihat item startup mana yang memperlambat sistem. Jika Anda dapat menonaktifkannya, lakukanlah.


Tip # 5 – Menutup Aplikasi yang Terbuka

Terakhir dan yang paling penting adalah Anda perlu mengawasi jumlah aplikasi Metro yang sedang berjalan. Tidak seperti aplikasi desktop, tidak ada cara cepat untuk melihat berapa banyak aplikasi yang Anda buka. Anda harus memindahkan mouse ke sisi kiri layar untuk melihat aplikasi Metro yang berjalan dan secara manual klik kanan pada masing-masing aplikasi Metro tersebut lalu pilih Close.


Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru



Namun, ada cara yang lebih mudah untuk melakukan hal itu.  Jika Anda pergi ke PC Settings (buka bar Charms, klik Settings dan klik pada Change PC Settings) dan klik General, Anda akan melihat pilihan di bawah App Switching, yaitu Delete History.



Cara Mempercepat Kinerja Windows 8 Terbaru





Delete History ini pada dasarnya akan menghapus daftar item di sidebar dan akan menutup semua aplikasi yang sedang dibuka. Delete History ini berguna karena kami kadang-kadang punya 10 sampai 15 aplikasi Metro yang berjalan dan bahkan tidak tahu kalau aplikasi Metro itu sedang berjalan.

terimakasih sobat semoga membantu :)

Selasa, 06 Agustus 2013

Makalah Tokoh-Tokoh Tasawwuf (Tasawwuf)


      Nama                  : Abdur Rahman
     NIM                     : 312036
     Jurusan/Prodi    : Ushuluddin/Tafsir Hadist

TOKOH-TOKOH TASAWWUF DI INDONESIA

1)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf  Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).
Keahlian beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra. Di bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti ayat berikut:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
  …Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya. Beliau memaknai ayat itu, adalah ”Kami terlebih dekat-yakni bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan-daripada urat lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan tiik konsentrasi dalam uaha mencapai persatuan. Meski demikian, Hamzah juga mengembangkan ajaran-ajaran tersebut berdasarkan pengalaman rohaniahnya sendiri.
Dalam menyebarkan pemikirannya, beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda Aceh.  
Beliau juga menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, dan merupakan penulis yang produktif, yang menghasilkan bukan hanya risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya- karya prosa yang sarat dengan gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku syairnya, antara lain; Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Adapun karangan-karangannya dalam bentuk kitab ilmiah, antara lain; Asrarul ’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat Tauhid, Syarbul ’Asyiqin, Al- Muhtadi, Ruba’i Hamzah al  Fansur.

2)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf  Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Adapun karangan yang termasuk bidang tasawuf, antara lain; Lathaif al-Asrar, Nubdzah fi ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahman, Hilal azh zhil, Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat, Fath al-Mubin’ala al-Mulhidin, Syifa al-Qulub, Hidayat al-Iman bi fadl al-Manan, Aqaid Ash-Shufiyah al-Muwahhidin, Rafiq al-Muhammadiyah fi thariq Ash Shufiyya, Jawahir al-’Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah. Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir, Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Setelah menetap di Aceh, beliau dikenal sebagai seorang ulama dan penulis produktif. Beliau juga merupakan salah satu ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. 
Ternyata kejayaan Nuruddin di Aceh tidaklah lama, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin, anak Iskandar Muda (1641-1675), maka bersamaan dengan itu datanglah dari Mekkah seorang ulama asal Minangkabau bernama Saiful Rijjal ke Aceh. Ia merupakan seorang penganut faham Wujudiyah Hamzah Fansuri. Perseteruan Nuruddin dengan Wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang ulama Wujudiyah Saiful Rijal. Akibatnya, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Ia meninggal di kota kelahirannya, Ranir, dalam tahun 1658 M.

3)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf  Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh.
Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung halamannya di Aceh. 
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah.
Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.
Karya-karya al-Sinkli antara lain, Mi’rat at-Thullab, Hidayat al-Balifhah, Umdat al-Muhtajin, Syams al-Ma’rifah, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, Turjumah al-Mustafidah.
Karya-karyanya itu pun digunakan oleh kaum muslimin di wilayah Asia Tenggara. Karya yang ditulisnya adakalanya dengan bahasa Melayu maupun Arab. Sebagian besar berkaitan dengan masalah fiqih, ibadah, dan tasawuf. Semua tulisannya yang berbahasa Melayu diorientasikan pada kondisi Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya. Dengan demkian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik.

4)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Yusuf Al- Makassari
Nama lengkapnya adalah Yusuf Taj al-Khalwati al-Makassary. Dilahirkan pada tanggal 8 Syawwal 1036 H/ 3 Juli 1629 M. Pada tahun 1644, dia belajar ke Makkah. Sebelum berangkat ke Makkah, dia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Dia juga dikenalkan oleh Syeikh  Nuruddin ar-Raniri kepada gurunya di Bijapur, India yang bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai berikut:
a)    Tarekat Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin ar-Raniri di Aceh,
b)    Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah,
c)    Tarekat al-Saadah al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubaed/ Yaman,
d)    Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim al-Kurani di Madinah,
e)    Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damsyiq. Syeikh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibnu Arabi.
Dalam karyanya, Zubdat al-Asrâr, pada awal naskah tercantum nama al-Haj Yusuf at-Taj Abi al-Mahasin (nama gelar beliau) sebagai penulisnya. Naskah ini ditulis dalam bahasa Arab, yang berisi ajaran tentang Wujudiyah. Dalam tulisannya ini, Syeikh Yusuf al-Makassari kelihatan cukup memahami paham tersebut.
Syeikh Yusuf al-Makassari berbicara pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses pensucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Dalam Zubdat al-Asrar juga, Syaikh Yusuf al-Makassari mengutip pernyataan al-Burhanpuri yakni pengarang kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang ulama kelahiran India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali pemikiran  Martabat Tujuh. Konsep ini merupakan perwujudan-perwujudan (tajalli) Tuhan melalui tujuh martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alam mitsal, ‘alam ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikkan ajaran Martabat Tujuh dengan ajaran Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawula- Gusti.
     
5)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nawawi al-Bantani
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional. Lahir di Kampung Pesisir, Ds. Tanara, Kec. Tanara, Serang- Banten 1815 M. Sejak umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan tinggal disana, tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya pada tahun 1897 M, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya dijuluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 M diganti nama menjadi Saudi Arabia.
Ada beberapa maksud dan alasan yang melatarbelakangi kepergian Syekh nawawi dari tnah kelahirannya di Tanara ke tanah suci di Makkah: Pertama, Menunaikan ibadah haji. Dari sini terlihat betapa bersemangat dan cintanya Syekh Nawawi terhadap Islam sehingga kesulitan yang ada tidak merintangi niat dia untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu 1830, yakni ketika dia berusia 15 tahun. Kedua, Menuntut ilmu. Bagi para santri, kisah mengenai Makkah sudah tidak asing lagi. Dari banyak kyai mereka mendengar perihal kehidupan intelektual Makkah sebagai pusat pendidikan agama. Syekh Nawawi juga merasa bahwa tinggal di Makkah lebih menjanjikan. Bahkan banyak juga muslim Jawa yng memiliki obsesi untuk menetap dn meninggal di makkah maupun Madinah. Pada abad ke-11 M di Jawa, kota makkah telah menjadi kiblat dalam banyak hal terkait dengan agama dan dipandang sebagai mata rantai yang menghubungkan Allh dan makhluk-Nya, sementara kota Madinah dianggap sebagai simbol kota suci dan kota perdamaina benukan nabi. Ketiga, Kondisi tanah air. Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan segala yang dicintainya lantaran mendapatkan tekanan dari Belanda Situasi itu memuncak pada Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830 M).
Syekh Nawawi bukan ulama yang ahli dalam sau bidang ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia sebagai ”Kiai Intelektual Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua cabang ilmu agama Islam seperti fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir al-Qur’an. Sesudah menuntut ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di Makkah, Syekh Nawawi tidak saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi juga menghapalkannya. Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah K.H Hasyim Asy’ari (pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura). Mereka kemudian meminta syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang dia ajarkan kepada mereka. Kitab tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal sebagai Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir atau Tafsir an-Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

6)    Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh H. Abdul Malik Karim  Amrullah (HAMKA)                                                           
Beliau dilahirkan di Sungai Batang Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya ialah ulama Islam terkenal Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau.
Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zinudin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia dapat kursus pergolakan Islam dari H.O.S Cokroaminoto. H. Fakhruddin, R.M Suryapranoto dan iparnya sendiri A.R.St.Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan. Hamka juga aktif dalam gerkan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahu 1925 untuk melawan khurafaat, bid’ah, tarekat dan kebatinan yang sesat. Pada tahun ini pula Hamka aktif dalam kegiatan politik dengan menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, ia merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit.. Sejak tahun 1920-an, ia menjadi wartawan  beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.Pada yahun 1928, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Setelah ia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah ia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis terlepas. Diantara romannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, Merantau ke Deli”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan filsafat ialah “Tasawuf Moderen”, “Falsafah Hidup”, dan lain-lain. Di zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”.
Dengan keahliannya itu, ia pada tahun 1952 diangkat oleh pemerintah menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari Kementrian PP dan K menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan universitas Islam di Makassar serta menjadi Penasehat pada Kementrian Agama. Drs. Slamet Mulyono, ahli tentang ilmu kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka sebagai “Hamzah Fansuri Zaman Baru”. Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan Bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi University al-Azhar Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974 memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepadanya. Sejak itu berhaklah beliau memakai title ‘Dr’ di pangkal namanya.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Hal ini berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (univate state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai kepekaan social-relligius (social keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis, dan yang sebagainya. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an, yakni “Tafsir al-Azhar” 30 juz (5 jilid). Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam tahanan. (Hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai Juli 1969). Bulan Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 M.
Hamka telah berpulang ke Rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.

Dibuat : 10/1/2012 14:21

Makalah Turunnya Al-Qur'an dengan Tujuh Huruf (B. Arab 1)


TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Bahasa Arab 1
Dosen Pengampu : H. Ahmad Atabik, Lc., MSI


































Disusun oleh :

Abdur Rahman              : 312036
Adelina Qurrotul ‘Aini  : 312030

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIST
TAHUN AKADEMIK 2012/2013


     I.          Pendahuluan
Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai rahmatal lil alamin, pedoman bagi manusia yang mengeluarkan mereka dari kegelapan sampai menuju cahaya Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai bacaan yang mendapat pahala juga sebagai tuntunan menjalani kehidupan di dunia ini.
  II.          Pembahasan
نزول القرآن على سبعة أحرف:
لقد كان للعرب لهجات شتى تنبع من طبيعة فطرتهم في جرسها وأصواتها وحروفها تعرضت لها كتب الأدب بالبيان والمقارنة، فكل قبيلة لها من اللحن في كثير من الكلمات ما ليس للآخرين، إلا أن قريشًا من بين العرب قد تهيأت لها عوامل جعلت للغتها الصدارة بين فروع العربية الأخرى من جوار البيت وسقاية الحاج وعمارة المسجد الحرام والإشراف على التجارة، فأنزلها العرب جميعًا لهذه الخصائص وغيرها منزلة الأب للغاتهم، فكان طبيعيًّا أن يتنزل القرآن بلغة قريش على الرسول القرشي تأليفًا للعرب وتحقيقًا لإعجاز القرآن حين يسقط في أيديهم أن يأتوا بمثله أو بسورة منه.
وإذا كان العرب تتفاوت لهجاتهم في المعنى الواحد بوجه من وجوه التفاوت فالقرآن الذي أوحى الله به لرسوله محمد -صلى الله عليه وسلم- يكمل له معنى الإعجاز إذا كان مستجمعًا بحروفه وأوجه قراءته للخالص منها، وذلك مما ييسر عليهم القراءة والحفظ والفهم.
ونصوص السٌّنَّة قد تواترت بأحاديث نزول القرآن على سبعة أحرف، ومن ذلك:
عن ابن عباس -رضي الله عنهما- أنه قال: "قال رسول الله, صلى الله عليه وسلم: "أقرأني جبريل على حرف فراجعته، فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف".

اختلاف العلماء في المراد بها الترجيح بينها
"اختلف أهل العلم في معنى الأحرف السبعة على خمسة وثلاثين قولًا"1, وأكثر هذه الآراء متداخل، ونحن نورد هنا ما هو ذو بال منها:
أ- ذهب أكثر العلماء إلى أن المراد بالأحرف السبعة سبع لغات من لغات العرب في المعنى الواحد، على معنى أنه حيث تختلف لغات العرب في التعبير عن معنًى من المعاني يأتي القرآن مُنَزَّلًا بألفاظ على قدر هذه اللغات لهذا المعنى الواحد، وحيث لا يكون هناك اختلاف فإنه يأتي بلفظ واحد أو أكثر.
واختلفوا في تحديد اللغات السبع.
فقيل: هي لغات: قريش، وهذيل، وثقيف، وهوازن، وكنانة، وتميم، واليمن.
وقال أبو حاتم السجستاني: نزل بلغة قريش، وهذيل، وتميم، والأزد، وربيعة، وهوازن، وسعد بن بكر.
ورُوِيَ غير ذلك.
ب- وقال قوم: إن المراد بالأحرف السبعة سبع لغات من لغات العرب نزل عليها القرآن، على معنى أنه في جملته لا يخرج في كلماته عن سبع لغات هي أفصح لغاتهم، فأكثره بلغة قريش، ومنه ما هو بلغة هذيل، أو ثقيف، أو هوازن، أو كنانة، أو تميم، أو اليمن، فهو يشتمل في مجموعه على اللغات السبع.
وهذا الرأي يختلف عن سابقه، لأنه يعني أن الأحرف السبعة إنما هي أحرف سبعة متفرقة في سور القرآن، لا أنها لغات مختلفة في كلمة واحدة باتفاق المعاني.

حكمة نزول القرآن على سبعة أحرف:
تتلخص حكمة نزول القرآن على سبعة أحرف في أمور:
١- تيسير القراءة والحفظ على قوم أميين، لكل قبيل منهم لسان ولا عهد لهم بحفظ الشرائع، فضلًا عن أن يكون ذلك مما ألفوه -وهذه الحكمة نصت عليها الأحاديث في عبارات:
عن أُبَيٍّ قال: "لقي رسول الله صلى الله عليه وسلم جبريل عند أحجار المراء فقال: إني بُعثت إلى أمة أميين، منهم الغلام والخادم والشيخ العاس والعجوز، فقال جبريل: فليقرءوا القرآن على سبعة أحرف"، "إن الله أمرني أن أقرأ القرآن على حرف، فقلت: اللهم رب خفف عن أمتي" , "إن الله يأمرك أن تُقرئ أمتك القرآن على حرف"، قال: "أسأل الله معافاته ومغفرته، وإن أمتي لا تطيق ذلك" .
TERJEMAHAN

TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Orang Arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jamaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika mereka diminta untuk mendatangkan satu surat yang seperti Al-Qur’an.
Apabila orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah di antara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Teks-teks hadist secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf). Di antaranya :
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata; Rasulullah bersabda,
"أَقْرَأَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلىَ حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فًلًمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِيْ حَتَّى اِنْتَهَى إِلىَ سَبْعَةِ أَحْرُفٍ".
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”
Ubay bin Ka’ab berkata, “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghifar, ia didatangi Jibril seraya berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.” Beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah ampunannya-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.” Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Nabi menjawab, “Aku memohon ampunan-Nya, umatku tidak kuat melaksana-kannya.” Jibril lalu datang lagi untuk yang ketiga kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Nabi tetap menjawab, “Aku memohon ampunan kepada Allah, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.” Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata, “Allah memerintahkan kepadamu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.”
Dari Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku.” Lalu aku katakan kepadanya, “Kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “Lepaskan dia, hai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti yang kudengar tadi. Maka kata Rasulullah, “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah, wahai Umar!” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, “Begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.”
Hadist-hadist yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibnu Jarir di dalam pengantar tafsirnya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam menetapkan kemutawatiran hadist mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MAKNA TUJUH HURUF (SAB’ATU AHRUF)
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1.      sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain.
2.      Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya; karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat Al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.

HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab’ah) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syariat, apalagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadist antara lain dalam ungkapan berikut:
Ubay berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertemu dengan Jibril di Ahjar Mira’, lalu berkata, “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Di antara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah mereka membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”
Dalam riwayat lain, “Allah memerintahkan aku untuk membacakan Al-Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf.” Lalu aku memohon keringanan, “Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.” Kata Jibril, “Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.” Nabi menjawab, “Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya. Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.”

 III.       Al-dhomir wa Anwauha
Isim Mudhmar di bagi menjadi dua macam :
    1. Dhamir Bariz (yang ditampakkan), seperti lafazh
 هما هم هي هن انت انتما انتم انت انتن انا نحن هو
    1. Dhamir Mustatir (Tersimpan) yaitu sebagaimana lafazh
ضربتَ ضربتمَا ضربتمْ ضربتِ ضربتُنَّ ضربَ ضربتْ ضربَا ضربتَا ضربوْا ضربنَ
 IV.       Penutup
Demikianlah makalah dari kami, mohon ma’af apabila ada salah, khususnya dalam masalah pengetikan, karena kami hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Dan untuk itu kami mohon atas partisipasinya untuk ikut memberi kritik yang membangun atas makalah kami. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
-          Mabahis Fi Ulumul Qur’an, Manna’ Al-Qaththan
-          Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an
-          Revisi Ilmu Nahwu Terjemahan

Dibuat : 11/11/2012 10:49