Nama :
Abdur Rahman
NIM :
312036
Jurusan/Prodi : Ushuluddin/Tafsir Hadist
TOKOH-TOKOH
TASAWWUF DI INDONESIA
1)
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan
di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra,
antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui
dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya
diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang
menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau
meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat,
seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang
paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).
Keahlian beliau terletak
pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra. Di
bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul
Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul
Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin
Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa
dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher
manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan
bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti ayat berikut:
وَنَحْنُ
أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
…Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia)
daripada urat lehernya. Beliau memaknai ayat itu, adalah ”Kami terlebih
dekat-yakni bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan
insan-daripada urat lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak ajaran pranayama
dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu seperti
ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan tiik konsentrasi dalam uaha
mencapai persatuan. Meski demikian, Hamzah juga mengembangkan ajaran-ajaran
tersebut berdasarkan pengalaman rohaniahnya sendiri.
Dalam menyebarkan
pemikirannya, beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda
berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari
pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut.
Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana,
Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme.
Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi.
Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda
Aceh.
Beliau
juga menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, dan merupakan penulis yang produktif,
yang menghasilkan bukan hanya risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya-
karya prosa yang sarat dengan gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku
syairnya, antara lain; Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair
Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Adapun
karangan-karangannya dalam bentuk kitab ilmiah, antara lain; Asrarul
’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat Tauhid, Syarbul ’Asyiqin, Al- Muhtadi,
Ruba’i Hamzah al Fansur.
2)
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur
al-Din Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan
al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena
dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada
tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September
1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya,
kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke
Makkah pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke
Madinah.
Adapun karangan yang
termasuk bidang tasawuf, antara lain; Lathaif al-Asrar, Nubdzah fi ma’rifat
ar-Ruh wa ar-Rahman, Hilal azh zhil, Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat, Fath
al-Mubin’ala al-Mulhidin, Syifa al-Qulub, Hidayat al-Iman bi fadl al-Manan,
Aqaid Ash-Shufiyah al-Muwahhidin, Rafiq al-Muhammadiyah fi thariq Ash Shufiyya,
Jawahir al-’Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
Pemikiran-pemikiran tasawuf
Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani
sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah
ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh
para pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia.
Menurut Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan
fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan
membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah.
Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat
li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li
ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh
ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir,
Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan
Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti
keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran
tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam
dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan
sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul
atau ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya.
Setelah menetap di Aceh,
beliau dikenal sebagai seorang ulama dan penulis produktif. Beliau juga
merupakan salah satu ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di
kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Melayu,
sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.
Ternyata kejayaan Nuruddin
di Aceh tidaklah lama, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat (1644) dan digantikan
oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin, anak Iskandar Muda (1641-1675), maka
bersamaan dengan itu datanglah dari Mekkah seorang ulama asal Minangkabau
bernama Saiful Rijjal ke Aceh. Ia merupakan seorang penganut faham Wujudiyah Hamzah
Fansuri. Perseteruan Nuruddin dengan Wujudiyah bangkit kembali. Kali ini
yang menang ulama Wujudiyah Saiful Rijal. Akibatnya, Nuruddin terpaksa
meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat menyelesaikan
karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Ia
meninggal di kota kelahirannya, Ranir, dalam tahun 1658 M.
3)
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli
adalah tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637
M), bernama lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun
kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada
tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di
pantai barat Aceh.
Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah
sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin
ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga
tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang
paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an
di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para
gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan
ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung halamannya di Aceh.
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di
Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah,
yang kemudian dikenal dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di
atas, ajaran tasawuf Wujudiyah dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang
sesat dan penganutnya dianggap murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses
penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai
perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah
dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip
dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki,
yakni Allah.
Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir.
Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri
dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan
dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah).
Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.
Karya-karya al-Sinkli antara lain, Mi’rat
at-Thullab, Hidayat al-Balifhah, Umdat al-Muhtajin, Syams al-Ma’rifah, Kifayat
al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, Turjumah al-Mustafidah.
Karya-karyanya itu pun digunakan oleh kaum
muslimin di wilayah Asia Tenggara. Karya yang ditulisnya adakalanya dengan
bahasa Melayu maupun Arab. Sebagian besar berkaitan dengan masalah fiqih,
ibadah, dan tasawuf. Semua tulisannya yang berbahasa Melayu diorientasikan pada
kondisi Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya.
Dengan demkian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik.
4)
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh
Yusuf Al- Makassari
Nama lengkapnya adalah
Yusuf Taj al-Khalwati al-Makassary. Dilahirkan pada tanggal 8 Syawwal 1036 H/ 3
Juli 1629 M. Pada tahun 1644, dia belajar ke Makkah. Sebelum berangkat ke
Makkah, dia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar dengan Syeikh
Nuruddin ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Dia juga dikenalkan oleh
Syeikh Nuruddin ar-Raniri kepada gurunya
di Bijapur, India yang bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban.
Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai
berikut:
a)
Tarekat
Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin ar-Raniri di Aceh,
b)
Tarekat
Naqsabandiyah diterima dari Syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah,
c)
Tarekat
al-Saadah al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubaed/ Yaman,
d)
Tarekat
Syathariyah diterimanya dari Ibrahim al-Kurani di Madinah,
e)
Tarekat
Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub
al-Khalwati al-Quraisyi di Damsyiq. Syeikh ini adalah imam di masjid Muhyiddin
Ibnu Arabi.
Dalam karyanya, Zubdat
al-Asrâr, pada awal naskah tercantum nama al-Haj Yusuf at-Taj Abi
al-Mahasin (nama gelar beliau) sebagai penulisnya. Naskah ini ditulis dalam
bahasa Arab, yang berisi ajaran tentang Wujudiyah. Dalam tulisannya ini,
Syeikh Yusuf al-Makassari kelihatan cukup memahami paham tersebut.
Syeikh Yusuf al-Makassari
berbicara pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia
mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya,
dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses
pensucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia
bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk
menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan
disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi
manusia.
Dalam Zubdat al-Asrar juga,
Syaikh Yusuf al-Makassari mengutip pernyataan al-Burhanpuri yakni pengarang
kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang
ulama kelahiran India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali
pemikiran Martabat Tujuh. Konsep
ini merupakan perwujudan-perwujudan (tajalli) Tuhan melalui tujuh
martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alam mitsal, ‘alam
ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikkan ajaran Martabat
Tujuh dengan ajaran Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawula-
Gusti.
5) Riwayat
Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nawawi al-Bantani
Syekh
Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf
internasional. Lahir di Kampung Pesisir, Ds. Tanara, Kec. Tanara, Serang-
Banten 1815 M. Sejak umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan tinggal disana,
tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya pada tahun 1897 M, dan dimakamkan
di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya dijuluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 M diganti nama
menjadi Saudi Arabia.
Ada beberapa maksud dan
alasan yang melatarbelakangi kepergian Syekh nawawi dari tnah kelahirannya di
Tanara ke tanah suci di Makkah: Pertama,
Menunaikan ibadah haji. Dari sini terlihat betapa
bersemangat dan cintanya Syekh Nawawi terhadap Islam sehingga kesulitan yang
ada tidak merintangi niat dia untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu 1830,
yakni ketika dia berusia 15 tahun. Kedua, Menuntut ilmu. Bagi para
santri, kisah mengenai Makkah sudah tidak asing lagi. Dari banyak kyai mereka
mendengar perihal kehidupan intelektual Makkah sebagai pusat pendidikan agama.
Syekh Nawawi juga merasa bahwa tinggal di Makkah lebih menjanjikan. Bahkan
banyak juga muslim Jawa yng memiliki obsesi untuk menetap dn meninggal di
makkah maupun Madinah. Pada abad ke-11 M di Jawa, kota makkah telah menjadi
kiblat dalam banyak hal terkait dengan agama dan dipandang sebagai mata rantai
yang menghubungkan Allh dan makhluk-Nya, sementara kota Madinah dianggap
sebagai simbol kota suci dan kota perdamaina benukan nabi. Ketiga, Kondisi
tanah air. Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan segala yang dicintainya
lantaran mendapatkan tekanan dari Belanda Situasi itu memuncak pada Perang
Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830 M).
Syekh Nawawi bukan ulama
yang ahli dalam sau bidang ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia
sebagai ”Kiai Intelektual Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua
cabang ilmu agama Islam seperti fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir
al-Qur’an. Sesudah menuntut ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di
Makkah, Syekh Nawawi tidak saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi
juga menghapalkannya. Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah
K.H Hasyim Asy’ari (pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari
Madura). Mereka kemudian meminta syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang
dia ajarkan kepada mereka. Kitab tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal
sebagai Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir atau Tafsir
an-Nawawi.
Tidak seperti sufi
Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori
genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara
hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya
perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali)
dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan
ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus
dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata
tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak
dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
6)
Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh H.
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Beliau dilahirkan di Sungai
Batang Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326 H).
Ayahnya ialah ulama Islam terkenal Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji
Rasul pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau.
Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke
Padang Panjang. Sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya
belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916
sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School”
dan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu
itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zinudin Labay.
Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah
pimpinan ayahnya sendiri.
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai
mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia dapat kursus
pergolakan Islam dari H.O.S Cokroaminoto. H. Fakhruddin, R.M Suryapranoto dan
iparnya sendiri A.R.St.Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan. Hamka juga
aktif dalam gerkan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti
pendirian Muhammadiyah mulai tahu 1925 untuk melawan khurafaat, bid’ah, tarekat
dan kebatinan yang sesat. Pada tahun ini pula Hamka aktif dalam kegiatan
politik dengan menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik,
ia merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit.. Sejak tahun
1920-an, ia menjadi wartawan beberapa
buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan
Muhammadiyah.Pada yahun 1928, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah
al-Mahdi di Makassar.
Setelah ia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935,
dan tahun 1936 pergilah ia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai
puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Di zaman itulah
banyak terbit karangan-karangannya dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan
roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis
terlepas. Diantara romannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah
Lindungan Ka’bah”, Merantau ke Deli”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan
filsafat ialah “Tasawuf Moderen”, “Falsafah Hidup”, dan lain-lain. Di zaman
Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”.
Dengan keahliannya itu, ia pada tahun 1952
diangkat oleh pemerintah menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari
Kementrian PP dan K menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan
universitas Islam di Makassar serta menjadi Penasehat pada Kementrian Agama.
Drs. Slamet Mulyono, ahli tentang ilmu kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka
sebagai “Hamzah Fansuri Zaman Baru”. Untuk menghargai jasa-jasanya dalam
penyiaran Islam dengan Bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan
tahun 1959 Majelis Tinggi University al-Azhar Kairo
dan Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974 memberikan gelar Doctor Honoris Causa
kepadanya. Sejak itu berhaklah beliau memakai title ‘Dr’ di pangkal namanya.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di
kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah
tasawuf modern. Hal ini berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah.
Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui
peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa
yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (univate state),
dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai
kepekaan social-relligius (social keagamaan), bukan karena ingin
mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis,
dan yang sebagainya. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka sangat
dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan
semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat
dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf
tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat,
dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang
begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat
dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an,
yakni “Tafsir al-Azhar” 30 juz (5 jilid). Tafsir ini
sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam tahanan. (Hari senin tanggal 12 Ramadhan
1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai Juli 1969). Bulan Juli 1975,
Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17
Rajab 1395 M.
Hamka telah berpulang ke Rahmatullah pada 24
Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam
memartabatkan agama Islam.
Dibuat : 10/1/2012 14:21